KKP Harapkan Perundingan Perdagangan Dengan Uni Eropa Selesai 2020
Ini suka duka bagaimana kita melakukan perundingan, di negara lain ada yang sampai 20 tahun. Mudah-mudahan di 2020 ini yang dengan Uni Eropa bisa selesai, setelah prosesnya 2016 lalu.

MONITORDAY.COM - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengharapkan perundingan perjanjian perdagangan antara Republik Indonesia dengan Uni Eropa (UE) bisa selesai pada 2020, meski hal itu tidaklah mudah.
"Ini suka duka bagaimana kita melakukan perundingan, di negara lain ada yang sampai 20 tahun. Mudah-mudahan di 2020 ini yang dengan Uni Eropa bisa selesai, setelah prosesnya 2016 lalu," kata Direktur Pemasaran Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Machmud dalam siaran persnya, Jumat (2/10).
Menurut Machmud, bila proses perundingan telah selesai maka dapat terlihat dengan jelas mengenai manfaat dan tindak lanjut dari perjanjian tersebut.
Selain itu, Machmud mengakui bahwa melakukan perundingan ini bukan perkara mudah, serta butuh win-win solution karena setiap negara punya kepentingan masing-masing, sehingga bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kata sepakat.
Ia memaparkan, selain UE, perundingan perdagangan internasional di bidang perikanan yang tengah proses di antaranya dengan Turki, Peru, Mozambik, Maroko, dan Iran.
Sedangkan, kata Machmud, pihaknya juga optimistis produk perikanan Indonesia bisa bersaing di pasar internasional meski syarat impor di negara tujuan kian ketat. Selain meningkatkan kualitas produk dan menggencarkan promosi, menjalin perundingan perdagangan internasional menjadi salah satu kiatnya.
Lebih lanjut, Machmud menjelaskan Indonesia sudah menjalin perjanjian perdagangan internasional di bidang perikanan dengan beberapa negara. Seperti Australia, Chile, dan Hong Kong.
Manfaat yang didapat dari perjanjian ini, lanjut Machmud, salah satunya pengurangan tarif bea masuk. Di pasar internasional, bea masuk ini dipengaruhi oleh dua komponen yaitu tarif Most Favoured Nation (MFN) dan Generalized System of Preference (GSP).
"Margin kita lima persen saja, sudah sulit bersaing dengan produk perikanan negara lain yang harganya lebih murah," jelas Machmud.
Mengenai persyaratan impor di negara tujuan yang kian ketat, Machmud menyebut itu menjadi tantangan bagi pemerintah dan juga pelaku usaha perikanan di Indonesia.
Bagaimana tidak, lanjutnya, karena sebanyak dari 63.364 unit pengolahan ikan (UPI), 62.389 diantaranya (setara 98 persen) merupakan skala usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Persyaratan meliputi empat poin, yakni kualitas dan keamanan produk, keberlanjutan, sertifikasi dari pihak ketiga, dan asal usul produk serta pengolahannya.
"Dalam membina teman-teman UMKM ini perlu kerja sama antara pemerintah dan swasta, supaya apa yang dihasilkan bisa masuk pasar internasional dan berdaya saing," ungkap Machmud.