KIARA: Negara Tidak Hadir Lindungi Masyarakat Pesisir
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menuturkan dalam konteks relasi dengan negara, masyarakat pesisir terancam harus berhadapan dengan proyek-proyek pemerintah, berupa reklamasi, pertambangan pesisir dan pariwisata.

MONITORDAY.COM - Pusat Data dan Informasi dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada 2017 mencatat jumlah desa pesisir di Indonesia sebanyak 12.827 desa dari 78.609 desa yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, 8.077.719 rumah tangga perikanan hidup dan mendiami kawasan desa pesisir serta menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan.
Namun secara umum, ada sejumlah permasalahan serius yang dihadapi masyarakat pesisir yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama. Pertama, permasalahan yang bersumber dari alam. Kedua, permasalahan kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan ketiga, permasalahan sosial ekonomi politik.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menuturkan dalam konteks relasi dengan negara, masyarakat pesisir terancam harus berhadapan dengan proyek-proyek pemerintah, berupa reklamasi, pertambangan pesisir dan pariwisata. Hal itu dinilai dapat mengakibatkan masyarakat pesisir tergusur dari ruang penghidupannya tanpa ada perlindungan yang pasti atas keterikatannya dengan wilayah pesisir dan laut.
Terkait persoalan tersebut, Susan menegaskan bahwa masyarakat pesisir membutuhkan kehadiran negara untuk melindungi, memberdayakan, sekaligus menjamin hak-hak konstitusionalnya. "Namun, sampai saat ini negara tidak hadir untuk melindungi masyarakat pesisir di Indonesia," katanya di Jakarta dalam keterangan tertulis, Jumat (06/04/2018).
Dirinya menjelaskan absennya negara dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, penetapan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang belum mempertimbangkan dan memasukan kepentingan masyarakat pesisir.
KIARA mencatat, per Januari 2018 ada delapan provinsi yang memiliki Perda RZWP3K, yaitu, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Lampung, dan Sulawesi Tengah. Sementara itu, ada lima provinsi yang berada dalam tahap akhir yaitu Jawa Timur, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Sumatera Barat.
Tiga provinsi dalam perbaikan yaitu Sulawesi Selatan, Banten, dan Kalimantan Utara. Sisanya, sebanyak 19 provinsi belum memiliki Perda RZWP3K.
“Hampir seluruh dokumen RZWP3K yang disusun lebih mempertimbangkan kepentingan pemodal bukan masyarakat pesisir,” tegas Susan.
Kedua, pengakuan terhadap peran serta kontribusi nelayan, khususnya perempuan nelayan, di Indonesia. Dari total 8.077.719 rumah tangga perikanan, hanya ada 1.108.852 kartu nelayan yang disiapkan oleh negara.
Dari angka tersebut, hanya ada 21.793 kartu nelayan yang diperuntukkan untuk perempuan nelayan. Artinya, lanjut dia, hanya 2% saja kartu nelayan untuk perempuan nelayan.
Ketiga, kebijakan peralihan alat tangkap yang masih berjalan di tempat. Permasalahan dalam skema bantuan peralihan alat tangkap dinilai belum merata dan tidak sesuai dengan spesifikasi alat tangkap yang dibutuhkan nelayan, menjadi persoalan serius saat ini.
"Implementasi kebijakan masih belum mengakomodir kebutuhan dan keragaman nelayan dengan kondisi geografis pesisir yang berbeda-beda," imbuhnya.
KIARA lantas meminta Pemerintah untuk tetap hadir memberikan perlindungan dan menjamin hak konstitusional masyarakat pesisir. “Pemerintah wajib untuk mengimplementasikan amanat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Selain itu, Pemerintah harus memastikan hak-hak konstitusional masyarakat pesisir terpenuhi,” pungkas Susan.
[Mrf]