4 Karakteristik Millenial Memilih Pemimpin

 4 Karakteristik  Millenial Memilih Pemimpin
Millineal / Net

MONITORDAY.COM - Apa yang tersemat di pikiran anda ketika mendengar kata 'millenial' ? Ya, generasi yang hari ini sedang dalam puncak keemasannya. Bagaimana tidak, dari forum-forum seminar, sampai dengan forum-forum politik bahkan negara sekalipun memperbincangkan soal generasi Millenial. 

Millenials, atau kerap disebut sebagai generasi Y adalah orang-orang yang lahir kisaran tahun 1980-2000. Jika sekarang kita berada ditahun 2018, Itu artinya generasi millenial adalah anak-anak muda yang berumur antara 17-37 tahun.

Karakteristik setiap generasi tentu saja berbeda, generasi millenail jauh lebih unik dan spesial jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, generasi X. Konon keunikan perbedaan itu karena generasi millenial lahir di tengah perkembangan teknologi yang sangat cepat. Dan millenials menemani proses transisi perkembangan tekhnologi dari masa kemasa. Mulai dari TV hitam Putih, berubah menjadi TV berwarna, masuk dalam dunia alat komunikasi, Handphone, internet bahkan sekarang berada pada era teknologi modern, atau biasa disebut New Media. 

Sehingga Millenial dapat dibilang sangat mahir dalam urusan teknologi. Maka tidak heran jika pengguna terbesar hampir dari seluruh platform media sosial didominasi oleh generasi millenial ini.

Untuk itu, jangan heran, jika melihat semua pihak menyoal millenials, termasuk para pengusaha bahkan menyesuaikan produknya untuk kalangan millenial, bahkan ada toko buku didaerah Cirendeu Ciputat dengan nama "Millenial Bookstore'. Tentu saja menjadi salah salah satu cara mereka untuk menyasar kalangan ini. 

http://monitorday.com/uploads/images/image_750x_5bc0371b07b21.jpg

Millenials Effect bahkan kini masuk ke ruang-ruang politik, seperti partai baru PSI (Partai Solidaritas Indonesia) yang diketuai oleh Grace Natalie yang juga mantan presenter TV One. Bahkan salah satu Pengurus DPP PSI, Tsamara Amany selaku anak muda juga menganggap bahwa PSI partainya Millenial, atau biasa disebut, Partainya anak muda.

Tak hanya itu, para politisi, baik secara personal maupun secara kelembagaan partai, kerap menggunakan personal branding mereka dengan penampilan anak muda. Bahkan Presiden Joko Widodo juga sering mengguna sepatu sneaker dalam kunjungannya kedaerah-daerah atau aktivitas lainnya. Termasuk Partai PSI pun demikian, secara kelembagaan, partai yang mengklaim sebagai partainya anak muda ini juga memiliki kostum atau atribut layaknya anak muda millenial pada umumnya, dan bahkan PSI punya sapaan millenial, seperti, "Bro & Sis".

Data dari CSIS menunjukkan bahwa ada sekitar 15-20 % Millenials dari jumlah pemilih secara nasional. Namun data terbaru dari lembaga survei Voxpop Center juga menerangkan bahwa ada sekitar 40% suara dari kalangan millenial pada gelaran Pemilu 2019 mendatang. 

Fakta ini menujukkan bahwa banyak pihak berbondong-bondong ingin mendapatkan perhatian, tak terkecuali para politisi yang sangat ingin menyasar generasi millenials sebagai pemilihnya nanti pada gelaran Pemilu 2019.

Untuk itu banyak pengamat, tak terkecuali para politisi yang menganalisis terkait karakteristik generasi millenials agar mereka dapat mengetahui seperti apa pemimpin yang diidolakannya, atas dasar apa mereka memilih calon pemimpinnya, dan bagaimana kecenderungan dan langkah milenials dalam setiap mengambil keputusan politik?

Ada 4 karakteristik pemilih millenial.

1. Butuh Bukti Bukan Janji

Barangkali bukan hanya millenials, semua Rakyat Indonesia pun memang butuh bukti dan menagih setiap janji politik para pemimpinnya yang terpilih. Namun begitulah kecenderungan millenials, kalimat "Butuh Bukti Bukan Janji" itu bukan sebuah ungkapan yang klise, millenials justru malah sering kali membandingkan secara konkret kinerja para pemimpinnya.

Ketika berada dalam ruang-ruang diskusi dengan teman-temannya, umumnya Millenials hanya akan bicara sesuatu hal yang kongkret dan nyata, sekaligus perubahan yang mereka dapat rasakan ditengah kehidupannya sehari-hari, khususnya didaerah tempat tinggalnya. millenials enggan terjebak dalam retorika politik, dan perdebatan yang tidak produkif. 

Karakteristik generasi millenials itu simple, menilai sesuatu dari hal yang terlihat jelas oleh mata dan kepalanya. Sederhananya mereka generasi yang cerdas dan tidak mudah percaya terhadap janji-janji manis politisi. 

Perhatikan saja, dalam beberapa kesempatan media sosial bukan hanya dijadikan oleh mereka sebagai tempat berbalas status, tetapi juga kadang dijadikan sebagai media untuk melakukan pengaduan terkait masalah yang mereka alami disekitarnya. Seperti di twitter, seorang millenial, sering berkomentar soal jalan didaerah rumahnya yang rusak, banjir, listrik mati, dan segudang masalah lainnya dengan menyematkan atau menandai pihak terkait yang menangani hal itu, seperti Dishub, PLN, BPBD, dan sebagainya. Dengan begitu mereka berharap, pihak terkait dapat secara langsung melakukan penanganan.

Dengan demikian, Generasi Millenials akan jauh lebih menghargai dan melihat pada apa yang telah kita perbuat, daripada apa yang kita janjikan untuk mereka. Sekali lagi, generasi millenial, 'butuh bukti bukan janji'.

2. Persona/Ciri Khas tokoh jadi pertimbangan besar

Pemimpin yang bagus adalah pemimpin yang berkarakter. Dia beda dengan pemimpin-pemimpin lain pada umumnya. untuk itulah mereka dikenal oleh banyak orang. Mesti ada sesuatu hal yang menempel pada setiap pemimpin, sehingga minimal ketika disebutkan namanya orang akan langsung ingat dan tertuju pada pemimpin tersebut. 

Persona atau ciri khas menjadi pertimbangan besar bagi generasi millenials dalam menentukan pilihannya. Karena bagaimana mungkin mereka dapat mengetahui calon pemimpinnya tanpa mengetahui persona dan ciri khas yang ada pada pemimpin tersebut. Misalnya, ada pemimpin dengan persona atau ciri khas sebagai "Pemimpin Blusukan", ada juga pemimpin yang secara persona dikenal sebagai pemimpin "non-kompromis", pemimpin yang "Tegas, dan Orator yg menggebu-gebu", ada menteri yang dikenal dengan "tenggelamkan" dan masih banyak pemimpin lain dengan persona dan ciri khas yang berbeda-beda.

Hal ini menjadi pertimbangan besar generasi millenials dalam memilih calon pemimpinnya, karena secara otomatis mereka juga sedang mengindetifikasi calon pemimpin yang memiliki kecenderungan yang sama dengan dirinya. 

Untuk itu kepada para politisi silahkan saja buat persona, dan ciri khasnya semenarik mungkin, sebagus mungkin, sehingga generasi millenial cukup terbantu dalam mengenali dan mengidentifikasi diri anda, selain karena nama, juga bisa karena persona atau ciri khas .

3. Sosok pemimpin yang merakyat dan sederhana

Entah mengapa dikehidupan modern generasi millenials  mengidolakan sosok pemimpin yang merakyat dan sederhana. Mereka justru malah tidak suka dengan pemimpin yang parlente, dan mewah-mewahan. Millenial bangga melihat kesederhanaan seorang pemimpin, karena bagi millenial Pemimpin yang merakyat dan sederhana dinilai dekat dengan masyarakatnya, tahu betul bagaimana kondisi mereka, dan terpenting dianggap bisa mewakili bahasa rakyatnya, dengan begitu antara presiden dan mereka tidak berjarak.

Pemimpin elitis, memang sejatinya bisa sangat dipercaya integritasnya, wibawanya, namun satu hal menurut millenial, yang tidak dimiliki Pemimpin elitis adalah bahasa rakyat. Bahasa pemimpin elitis biasanya menggunakan bahasa diskusi, orator sehingga kemungkinan akan memiliki jarak dengan masyarakatnya, termasuk dengan millenials. Dengan begitu, karena kekakuan seorang pemimpin sehingga tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Terlebih generasi millenial sebagai pengguna terbesar dimedia sosial tentu saja mengidolakan pemimpin yang juga merakyat, maksudnya melakukan seperti yang millenials lakukan dimedia sosial, seperti membuat video vlog, dan semacamnya. Itulah merakyat. 

Kesederhanaan adalah inti dari sebuah kepemimpinan yang tidak korup. Sejatinya millenials resep, suka, melihat gaya kepemimpinan yang sederhana, karena mereka menilai bahwa kesederhanaan seorang pemimpin adalah pilihan yang sangat berat baginya, ditengah kekuasaan yang mereka miliki dan menjadi orang nomor satu di Indonesia, itu artinya dia memiliki kesempatan untuk melakukan apapun termasuk memperkaya dirinya, menunjukkan kepada banyak orang dengan gagah bahwa dia seorang pemimpin. 

Jalan kesederhanaan tidak mudah dilakukan bagi seorang pemimpin, itulah mengapa millenial sangat mengapresiasi dan mengidolakan sosok pemimpin yang seperti itu.

So, buat para calon pemimpin nantinya, gaya kepemimpinan merakyat dan sederhana sepertinya cocok dan menjadi salah satu opsi untuk memenangkan hati generasi millenials. Tentu saja, sederhana yang tidak dibuat-buat, bukan sekedar gincu melainkan kesederhanaan yang real dan menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah terbesar yang mesti dijalankan dengan penuh dedikasi, kejujuran, dan tanggung jawab.

4. Familiar di media sosial

Media sosial menjadi sangat penting perannya di tengah kehidupan kita saat ini. Dari anak-anak sampai orang dewasa pun menggunakan media sosial. Bahkan kekuatan media sosial terbukti dapat menjadi pemantik perubahan dan revolusi. Seperti yang pernah terjadi di Tunisia misalnya, seorang pedagang sayuran, Mohammad Bouazizi yang membakar diri selepas polisi mengambil paksa dagangannya, kemudian salah seorang pemuda Tunisia mengorganisir massa melalui media sosial Facebook dan Twitter dan berhasil menggulingkan rezim presiden Tunisia, Zine El Albidine Ben Ali. Mesir pun demikian, warga negara itu berhasil menggulingkan rezim Hosni Mubarok hanya melalui propaganda yang dilakukan di media sosial. Begitupun dengan pemuda hongkong tahun 2014, mengorganisir massa lewat media sosial untuk melakukan 'Revolusi Payung', dan tahun 2016, menggerakkan massa 212, dalam satu isu "Penistaan Agama", hanya melalui video yang di upload oleh Buni Yani di Media Sosial, Youtube. Media sosial nyatanya bisa menjadi alat revolusi, dan pergerakan Perubahan sosial. 

Seorang pemimpin tentu saja mesti aktif dan populer dimedia sosial, terlebih para pengguna media sosial didominasi oleh kalangan millenial, sehingga jika ingin menyasar generasi millenial maka seorang pemimpin harus bermedia sosial guna menyapa, dan mengetahui aspirasi bagian dari masyarakatnya yaitu generasi millenial.

Kita mesti contoh misalnya, mantan walikota Bandung, Ridwan Kamil, yang ternyata menang dan terpilih sebagai Walikota karena ke-aktifan dan popularitasnya dimedia sosial. Bahkan menurut pengamat, Ridwan Kamil terpilih menjadi walikota Bandung berkat media sosial, twitter. Dan bagusnya, Ridwan Kamil menyadari betul, dia faham terhadap angka hasil penelitian dan karakter pemilih kota Bandung yang ternyata didominasi oleh anak anak muda, bahkan Kota Bandung pernah menjadi kota dengan pengguna Twitter terbanyak urutan 3 se-Asia. Maka dengan begitu, Ridwan Kamil tidak perlu repot-repot, disamping menemui sebagian warga dalam kampanye, dia juga hanya perlu berselancar di media sosial menyapa pemilihnya di Twitter, khususnya generasi  millenial. Mulai dari membuat status, membalas komentar dan sebagainya.

Dengan demikian, terakhir yang mesti dimiliki calon pemimpin guna memenangkan hati generasi millenial adalah kemampuannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan mereka walaupun berbeda generasi. 

Di media sosial, semua calon pemimpin bisa melakukan apapun, dengan calon pemilihnya, melakukan interaksi, memberi informasi, menjabarkan visi dan misi,  atau bahkan membuat video vlog soal harapannya tentang Indonesia kedepan. Dan terpenting, satu hal, bahwa bukan hanya pemilih millenial, pemilih dengan generasi yang berbedapun pada dasarnya ingin memiliki pemimpin yang dapat mewakili semangat muda, sehingga mereka akan merasa dipimpin oleh orang yang energik, progresif, dan penuh semangat,