Ketika Orang Meninggal Jadi Isu Sosial Politik

Pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin muncul wacana demi efisiensi tanah di Jakarta, orang bisa dikubur dalam posisi berdiri.

Ketika Orang Meninggal Jadi Isu Sosial Politik
Museum Taman Prasasti

MONDAYREVIEW.COM – Spanduk mengenai penolakan menshalatkan jenazah pendukung calon kepala daerah non Muslim di Jakarta menjadi perbincangan publik. Sosok nenek Hindun yang dengan benderang menyatakan dirinya memilih Ahok pun mewarnai jagat pemberitaan.

Berbicara tentang orang meninggal dan isu sosial politik, bukan kali ini saja terjadi di DKI Jakarta. Pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin muncul wacana demi efisiensi tanah di Jakarta, orang bisa dikubur dalam posisi berdiri.

Seperti diungkap AM Fatwa di Republika, ketika akan memperluas pusat-pusat aktivitas ekonomi di kawasan Tanah Abang, Gubernur Ali Sadikin terbentur pada kompleks pemakaman Arab yang sulit direlokasi.

Lalu dari Balai Kota, Ali Sadikin berteriak, “Alangkah sulitnya kita membangun di Jakarta ini. Kita kesulitan untuk orang hidup, bagaimana kalau orang mati itu dikubur saja secara berdiri supaya efisien?”

Ulama besar saat itu Buya Hamka kemudian berhasil meredakan gejolak di masyarakat. Buya Hamka menyatakan bahwa gebrakan Ali Sadikin tidak sepenuhnya salah. Buya Hamka merujuk pada kompleks pekuburan di Makkah dan Madinah yang sudah lama, dibuka kembali untuk ditimbun jenazah baru.

Kompleks pemakaman Tanah Abang akhirnya direlokasi ke pinggiran kota dan lahannya dapat dibangun berbagai fasilitas umum, seperti gedung pendidikan Said Naum.

Demikianlah sekelumut episode sejarah yang mengingatkan bahwa orang meninggal telah menjadi isu sosial politik sejak dulu kala.