Kesiapan SMK Menghadapi Era Disrupsi
Ada banyak cara yang bisa diterapkan sekolah SMK untuk menghadapi era disrupsi yang telah di depan mata.
DI TENGAH ingar bingar persiapan pesta demokrasi 2018-2019 dan segala macam bumbunya yang seolah memaksa kita untuk ikut larut dalam dinamikanya, ada satu isu yang tampaknya luput dari perhatian publik. Yaitu tentang revolusi industri 4.0. Isunya senyap, namun sebetulnya mendorong perubahan nyata.
Pada awal april 2018, Kementrian Perindustrian RI meluncurkan Peta Jalan (road map) industrialisasi 4.0 atau populer disebut sebagai ‘Making Indonesia 4.0’. Disebutkan, bila peta jalan ini disusun untuk merespon revolusi industri 4.0 yang mau tidak mau harus dihadapi oleh siapa pun. Lengah sedikit saja, maka siapa pun akan tergilas perubahan tersebut.
Bila mengacu pada model perubahan Kurt Lewin, saat ini kita tengah berada dalam tahap pencairan (unfreezing). Yaitu salah satu tahap yang paling penting dalam memahami model perubahan hingga saat ini. Tahap ini membahas tentang persiapan untuk menghadapi proses perubahan. Atau sebuah kesadaran dan pemahaman bahwa perubahan mulai diperlukan, serta bersiap-siap untuk menjauh dari zona kenyamanan yang ada saat ini.
Tahap pertama ini seringkali disebut sebagai tahap persiapan diri baik secara individual maupun tim kerja, sebelum suatu perubahan dilakukan, atau menciptakan situasi yang kondusif bagi terjadinya suatu perubahan.
Rektor IPB, Arif Satria dalam artikelnya di Harian Kompas menyebutkan, bila faktor disrupsi tidak hanya bertumpu pada perubahan teknologi akibat revolusi industri 4.0, tetapi juga perubahan struktur demografi, perubahan iklim, globalisasi, serta perubahan peta geopolitik.
Dengan mengacu pada faktor-faktor disrupsi tersebut, maka ada beberapa langkah yang, menurut Arif Satria, bisa diambil oleh dunia pendidikan vokasi khususnya SMK yang saat ini juga tengah mendorong revitalisasi.
Pertama, perubahan mindset atau orientasi dari ‘konsumen ke produsen’ dalam bentuk karya ide, pemikiran, pengetahuan, teori atau barang. Perubahan ini akan tercermin dari neraca aktivitas keseharian siswa-siswi SMK, apakah banyak diwarnai aktivitas pengunggahan (upload) atau pengunduhan (download).
Dalam konteks pendidikan vokasi, maka seringnya kita mengunggah akan menjadi bukti bahwa kita adalah pemain di era disrupsi ini. Sebaliknya, bila lebih banyak aktivitas unduh, maka jadilah kita sekadar penonton perubahan. Mestinya SMK juga mendorong siswa-siswinya agar memiliki orientasi unggah dengan memberbanyak inovasi dan kreasi.
Kesuksesan kelompok paduan suara The Resonanz Children Choir (TRCC) pimpinan Avip Priatna menjadi pemenang European Grand Prix (EGP) for Choral Singing, tak dapat dipungkiri adalah buah dari perubahan orientasi tersebut. Apa yang ditampilan TRCC sangat out of the box, kreatif dan inovatif. Begitupula lah semestinya keahlian-keahlian siswa SMK saat ini, kreatif serta inovatif.
Kedua, pengembangan keilmuan dan keahlian baru yang lebih terdisiplin dan responsif terhadap perkembangan zaman. Dalam konteks ini, diperlukan adanya program keahlian baru atau peminatan baru yang mengenalkan keilmuan baru pula.
Apa yang dilakukan SMK Negeri 4 Malang mungkin bisa dijadikan contoh, atau best practice dalam upaya ini. Melihat perubahan dalam model pengelolaan atau manajemen logistik yang ada, seiring berkembangnya bisnis ritel online, sekolah yang popular disebut SMK Grafika ini lantas mengembangkan program keahlian baru di bidang logistik.
Untuk menunjang pembelajaran keahlian logistik ini, pihak sekolah bahkan sampai mendatangkan expert dari Jerman. Seorang ahli yang telah puluhan tahun menangani manajemen logistik sebuah perusahaan internasional ternama asal Jerman.
Hal selanjutnya yang juga harus diperhatikan tentu saja adalah transformasi kurikulumnya. Agar lebih adaptif terhadap perkembangan generasi milenial dan tantangan perubahan yang ada. Disnilah perlunya ada komunikasi antara pihak sekolah dengan dunia usaha/dunia industri (DUDI). Proses ini sebetulnya telah lama dijalankan, tinggal modelnya saja dikembangkan. Yang bisa jadi tak sebatas metode dual system atau teaching factory (Tefa) saja, namun bisa metode lain yang sesuai dengan perubahan zaman.
Salah satu contoh metode baru yang bisa dikembangkan mungkin adalah penerapan neuro prikologi, seperti yang dikembangkan oleh alumnus Universitas Toronto Ihsan Gumelar. Dalam sebuah diskusi ringan dengan pria kelahiran Bandung Jawa Barat ini, teknik-teknik pendekatan neuro psikologi dapat diterapkan untuk mengetahui bakat serta bagaimana kemudian menyalurkan sugesti untuk mengasah bakat tersebut.
Melalui pendekatan ini, seorang siswa akan diketahui bakatnya sejak dini, dan metode seperti apa yang semestinya diberikan kepada siswa tersebut. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukannya selama ini, Ihsan Gumelar menyebut sugesti atau dalam konteks pendidikan vokasi metode pembelajaran yang tepat dapat diketahui melalui aktivitas otak manusia.
Tentu ada banyak cara lain yang bisa diterapkan selain ketiga hal di atas untuk menghadapi era disrupsi yang telah di depan mata. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kemudian di era disrupsi ini, kita dapat menumbuhkan soft skill millennium, berupa etos kerja, moral, serta jiwa kewirausahaan. Karena soft skill dan spirit inilah yang akan mampu membuat generasi milenial kita dapat bertahan dari terpaan zaman yang terus berubah.
[Mrf]