Kepolisian Didesak Tak Gunakan Pasal Penodaan Agama untuk Kasus Wanita Pembawa Anjing ke Masjid
Setara Institute menilai kepolisian seharusnya melihat konteks dari perbuatan sang wanita tersebut.

MONITORDAY.COM - Seorang perempuan berinisial SM ditetapkan sebagai tersangka kasus penodaan agama atau penistaan karena membawa anjing dan menggunakan alas kaki ke dalam sebuah masjid di Kabupaten Bogor, pada Minggu (30/7) lalu.
Menanggapi hal itu, Setara Institute menilai kepolisian seharusnya melihat konteks dari perbuatan sang wanita tersebut. Pasalnya kepolisian pun telah mengakui tersangka SM mengalami gangguan kejiwaan, baik dari rekam jejak medis atau fakta aktual sepanjang proses penyidikan.
Penerapan pasal 156a KUHP dalam kasus SM dinilai akan melahirkan potensi ketidak adilan terkait kehidupan beragama di Indonesia. Karena itu Setara Institute Mendesak agar kepolisian tidak mengunakan pasal itu pada tersangka SM.
"Mendesak kepolisian untuk tidak lagi menggunakan pasal penodaan agama, sebab konstruksi pasal tersebut secara aktual dan potensial melahirkan ketidakadilan," ujar Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, dalam keterangan tertulis, Rabu (3/7).
Ia menilai, penerapan pasal penodaan agama dalam kasus SM hanyalah sekedar instrumen favoritisme untuk menunjukkan keberpihakan dan menyenangkan kelompok warga mayoritas. Pasalnya pihak kepolisian, sebenarnya sudah mengakui bahwa SM mengidap gangguan kejiwaan.
"Artinya secara hukum lemah sekali dugaan adanya niat jahat (mens rea) yang secara normatif mestinya menjadi salah satu dasar utama dalam pemidanaan seseorang," ujarnya.
"Terlihat sekali, bahwa kepolisian lebih dipengaruhi oleh tekanan psikologi mayoritas, dibandingkan penegakan keadilan secara objektif dalam due process of law," lanjut dia.
Bonar menjelaskan, bahwa substansi dari pasal penodaan agama tidak menjamin kepastian hukum, maka penerapannya dalam penetapan tersangka SM sulit untuk mewujudkan keadilan bagi SM dan masyarakat pada umumnya.
Ia menambahkan, konteks penerapan pasal penodaan agama selama ini pun sangat beragam, dari persoalan politik, ekonomi, konflik internal keluarga, hingga persoalan putus cinta. Hal ini menunjukan bahwa pasal itu tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan sehingga sepatutnya menjadi objek reformasi hukum yang diprioritaskan.
"Kami sejak beberapa tahun terakhir merekomendasikan agar kepolisian melakukan moratorium penerapan pasal ini," ucap Bonar.
Karena itu, Ia meminta kepada kepolisian untuk meninjau ulang penetapan status hukum SM dalam kasus yang dimaksud. Menurut dia, kepolisian harus menjadi penegak hukum yang adil dan profesional dengan menghindari penggunaan hukum untuk alasan non hukum dan tidak tunduk pada tekanan non hukum dalam penanganan kasus hukum terutama penodaan agama.