Kilas Ekonomi 2021 : Kendalikan Impor dan Dorong Kemandirian Ekonomi

Kilas Ekonomi 2021 : Kendalikan Impor dan Dorong Kemandirian Ekonomi
Aktivitas Bongkar Muat di Pelabuhan/ net

MONITORDAY.COM - Setiap negara pasti melakukan perdagangan dengan negara lain. Apalagi di dunia yang semakin terhubung. Aktivitas ekspor-impor menjadi acuan utama dalam neraca perdagangan. Impor tak selamanya buruk. Impor barang modal dan bahan baku tentu punya peran dalam menggerakkan industri. Hal ini berbeda dengan impor barang konsumsi. 

Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk yang tinggi. Kekayaan alam Indonesia juga sangat besar. Pun kebutuhan penduduknya membentuk kue ekonomi yang sangat menjanjikan. Maka, Indonesia harus berusaha menyeimbangkan dan mengendalikan neraca perdagangannya. Ketergantungan yang besar pada impor migas, farmasi, dan beberapa produk lainnya harus diantisipasi. 

Data menunjukkan bahwa impor Indonesia cukup tinggi. Artinya ada beberapa komoditas yang sangat penting sekaligus membuat Indonesia sangat bergantung pada negara lain. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor Indonesia per Juli 2021 mencapai US$15,11 miliar. Angka ini turun lebih dari 12% dibanding Juni 2021, namun naik 86,39% ketimbang Juli 2020. 

Kita pun harus memilah dengan komoditas yang cukup menentukan dalam daftar impor barang. Untuk kemudian membuat langkah strategis untuk mengendalikannya. Berdasarkan golongannya, produk impor dibagi dua: impor migas dan nonmigas. Impor migas tentu saja berkaitan dengan seluruh produk migas dan turunannya. Sementara impor nonmigas di luar kelompok tersebut. 

Impor Migas Indonesia Masih Sangat Tinggi
Krisis energi yang terjadi belakangan menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Sektor minyak dan gas (migas) selama beberapa dekade terakhir jadi salah satu penyumbang pendapatan terbesar bagi Indonesia. Namun, Indonesia setiap tahunnya terlalu banyak mengimpor hasil migas yang berdampak negatif terhadap defisit transaksi berjalan (current account deficit).

Tak sedikit yang anggaran yang harus dikucurkan demi membeli minyak dan gas. Negara mengeluarkan USD 20 miliar per tahun untuk impor minyak, dan USD 2,5 miliar untuk gas. Demikian menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Kita jadi ingat bahwa satu dekade lalu kita mampu melakukan konversi penggunaan minyak tanah ke gas elpiji. Ternyata kini gas impor dan subsidi gas ini juga membebani keuangan negara. 

Kebutuhan minyak Indonesia 1,4 juta barrel per hari. Tak seimbang dengan produksi yang hanya 700 ribu barrel minyak per hari. Hanya bisa memenuhi setengah kebutuhan dalam negeri. Begitu kata Luhut pada acara The 2nd IOG 2021 yang berlangsung pada (29/11/ 2021).

Padahal faktanya, Indonesia yang berada di lempeng tektonik semestinya punya banyak kekayaan energi dan mineral yang memberi harapan bahwa lapangan migas potensial semestinya bisa ditemukan di banyak tempat. Secara paralel, pemerintah hendak meningkatkan produksi lapangan migas melalui berbagai inisiatif. Sebagai contoh, melalui metode Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk memperpanjang usia produksi, terutama untuk lapangan lama. Metode EOR diharapkan bisa dikombinasikan dengan teknologi Carbon Capture, Utilisation, and Storage (CCUS). Hal itu dapat mereduksi emisi karbon dioksida (COD) dan mendongkrak pemulihan lapangan minyak yang sudah habis.

Impor Non migas 
Disamping migas kita juga komoditas non migas. Impor barang nonmigas ini dibagi lagi berdasarkan klasifikasinya. Di Indonesia, klasifikasi barang ekspor-impor menggunakan kode HS (HS code). HS sendiri merupakan singkatan dari Harmonized System. 

Nilai impor nonmigas Indonesia pada Juli 2021 mencapai US$13.328,3 juta. Berikut adalah peringkat komoditas impor nasional berdasarkan kode HS-nya (Januari-Juli 2021)

Di urutan teratas adalah impor mesin dan peralatan mekanik senilai U$13,4 miliar, besi dan baja US$6,2 miliar, plastik dan barang dari plastik US$5,7 miliar. Kemajuan teknologi negara maju harus dikejar agar kita dapat mengurangi impor mesin meski sejauh ini mesin adalah barang modal yang produktif. 

Produk impor lainnya adalah ampas/sisa industri makanan US$2,5 miliar. Disusul produk farmasi US$1,8 miliar, dan logam mulia dan perhiasan/permata US$1,3 miliar, bijih, terak, dan abu logam US$963 juta, garam, belerang, batu, dan semen US$627 juta. Ampas yang dimaksud adalah bungkil kedelai yang menjadi salah satu bahan utama pakan ternak. Bungkil kaya akan protein. 

Kita juga mengimpor kereta api, trem, dan bagiannya US$187,5 juta dan kendaraan bermotor/komponen dalam keadaan terbongkar tidak lengkap US$182,8 juta. Meskipun kita sudah memiliki PT INKA yang mampu berinovasi tidak saja untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri namun juga ekspor. 

Pada Juli 2021, golongan barang farmasi mengalami peningkatan paling besar yakni 66,67%. Hal ini tak lepas dari importasi produk-produk farmasi terutama vaksin Covid-19 dari berbagai negara. Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa industri farmasi di Tanah Air siap menggunakan bahan baku obat (BBO) hasil produksi lima industri dalam negeri termasuk PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP).

Industri farmasi formulasi siap menggunakan BBO hasil produksi dalam negeri dengan beberapa pertimbangan seperti keberlanjutan BBO, kesesuaian spesifikasi BBO, konsistensi BBO, kemudahan audit, waktu delivery, hingga harga yang bersaing. Demikian menurut Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam lewat keterangannya di Jakarta, Minggu (12/12). KFSP telah mampu memproduksi sebanyak 11 jenis molekul BBO yang sudah komersial, di antaranya adalah Clopidogrel, Simvastatin, Atorvastatin, Rosuvastatin, Entecavir, Lamivudin, Zidovudin, Efavirenz, Tenofovir, Remdesivir, dan Povidone Iodine.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyiapkan Indofarma untuk fokus pengembangan industri herbal pada pengobatan. Pasalnya, Indonesia memiliki alam dan kultur yang mumpuni guna mengembangkan industri dan bisa menekan impor bahan baku obat. Kita mempunyai alam dan punya kultur mengenai industri herbal ini. Karena itu Indofarma kita akan fokus pengembangan industri herbal. Demikian menurut Erick  (27/12/2021).

Dari golongan penggunaan barang, maka porsi impor terbesar ditempati impor bahan baku/penolong yakni 75,84%. Sementara sisanya, barang modal menyumbang porsi 14,35% dan barang konsumsi 9,81%. 

Dari gambaran di atas kita dapat melihat sektor dan komoditas yang memerlukan sentuhan kebijakan Pemerintah agar ketergantungan kita pada impor semakin berkurang. Dari hulu hingga hilir industrialisasi harus diperkuat. Termasuk dengan mengakomodasi teknologi hijau dan ekonomi hijau.