Kemendikbudristek di bawah Nadiem Jadi Catatan, ICW Hingga JPPI Beri Rapor Merah

MONITORDAY.COM - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berhasil meraih peringkat ketiga sebagai kementerian/lembaga (K/L) terbaik, pada penilaian kinerja pelaksanaan anggaran tahun 2021 untuk kategori K/L besar.
Tidak hanya itu, Kemendikbudristek mencatatkan nilai 82,25. Selain itu, ada lagi prestasi yang meraih peringkat keempat Top 5 Penghargaan Predikat Kepatuhan Tinggi Standar Pelayanan Publik Tahun 2021 kategori kementerian dengan skor 89,39.
Lantas sejauhmana performa Mendikbudristek, Nadiem Makarim. Apakah sesuai dengan deretan penghargaan yang diperolehnya?
Ternyata, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan rapor merah kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di bawah kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim.
Kemendikbudristek dianggap tidak transparan terkait pengelolaan anggaran negara.
Peneliti ICW, Dewi Anggraeni, mengatakan pengelolaan anggaran di Kemendikbudristek sangat minim transparansi dan akuntabilitas, tidak sejalan dengan penghargaan yang diterimanya sebagai instansi ketiga sebagai pelaksana anggaran terbaik tahun 2021 oleh Kementerian Keuangan dan top 5 kepatuhan tinggi standar pelayanan publik 2021 oleh Ombudsman RI.
Hal ini dikatakan Dewi dalam diskusi “Rapor Merah Kinerja Mendikbudristek Nadiem Makarim” pada Kamis, (17/3/2022).
Menurut Dewi, Prestasi Nadiem soal Merdeka Belajar hingga meraih “gelar” WTP dari BPK RI mestinya tidak perlu dipuji berlebihan terlebih dahulu.
Dewi mengatakan, pengelolaan anggaran di Kemendikbudristek sangat minim transparansi dan akuntabilitas, tidak sejalan dengan penghargaan yang diterimanya sebagai instansi ketiga sebagai pelaksana anggaran terbaik tahun 2021 oleh Kementerian Keuangan dan top 5 kepatuhan tinggi standar pelayanan publik 2021 oleh Ombudsman RI.
Ini sangat kontras, karena menurut kajian singkat ICW untuk anggaran Kemendikbudristek ini tidak cukup transparan khususnya kepada publik.
Selain itu ICW juga menyoroti banyak informasi keuangan yang tidak ditampilkan ke publik oleh Kemendikbudsristek, seperti pagu APBN Tahun 2021 dan 2022, rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga, Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA), hingga Ringkasan Laporan Keuangan tahun 2021.
Terlebih untuk mendapatkan informasi anggaran di Kemendikbudristek itu tidaklah mudah, padahal itu adalah hak setiap warga negara untuk mengetahui anggaran yang dikelola kementerian, terkhusus yang mengampu pendidikan itu bagaimana dan berapa.
Kesempatan yang sama, Pemerhati pendidikan Eka Simanjuntak menyoroti bagaimana kebijakan dan program Merdeka Belajar dijalankan. Jika program tersebut gagal, waktu pun terbuang sia-sia.
" Bayangkan jika program itu sudah 7 tahun, dan hanya itu-itu saja. Yah jelas tidak merubah apa-apa," ujar Eka.
Kemendikbudristek dinilai punya tanggungjawab besar karena yang diurusnya itu manusia. Faktanya, Nadiem dianggap tak membuka akses dialog dengan sejumlah pihak.
Adapun catatan kritis perihal rapor merah adalah soal Kurikulum Merdeka belajar.
Eka menyayangkan kajian akademik program ini kelihatan terburu-buru. Sehingga alur berpikirnya hanya cause and effect. Misalnya akibat pandemi, tidak ada pembelajaran sehingga terjadi learning loss.
Kemudian, Nadiem, kata Eka, mengklaim bahwa Merdeka Belajar jadi solusi dan berdampak baik. Apalagi survey yang dilakukan pihak Kemdikbud hanya siswa SD kelas 1-3
Bagaimana mungkin bisa disamaratakan dengan SMP dan SMA.
Selanjutnya soal inovasi merdeka belajar? rasa-rasanya belum ada sesuatu yang menjadi perubahan inovatif yang signifikan.
Konsep “Merdeka Belajar” harus jelas dan tertuang dalam kurikulum pendidikan. Kurikulum harus bisa memotret kondisi pendidikan secara jelas dan tepat, serta memberikan solusi terbaik bagi pencapaian sasaran pendidikan yang logis.
Keterlibatan para pemangku kebijakan, akademisi, praktisi pendidikan, dan pelaku dunia kerja dalam penyusunan kurikulum sangatlah penting untuk mencapai kebijakan “Merdeka Belajar” yang optimal, sehingga menghasilkan generasi emas yang mampu menjawab tantangan dan perubahan jaman.
Apalagi Esensi merdeka belajar itu adalah spirit mencari dan mengembangkan ilmu. Dengan merdeka belajar, peserta didik seyogyanya dilatih untuk membuka horison dan atmosfir akademik baru dalam pengembaraan intelektual.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji yang hadir di acara tersebut juga mengkritisi masuknya sektor pendidikan dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker).
Menurut Ubaid, Pasal 65 pada UU Cipta Kerja soal pendidikan mengarahkan pada liberalisasi sektor pendidikan, karena menyamakan perizinan pendidikan dengan izin usaha.
Lebih lanjut, Ubaid menjelaskan bahwa pendidikan merupakan hak seluruh warga negara. Dengan begitu, negara harus memberikan layanan serta membiayainya.
Ubaid mengatakan, hal itu telah secara jelas diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dirinya menyebut klaster pendidikan dalam Undang-undang Cipta Kerja tidak hanya melanggar UU Sisdiknas, tapi juga Undang-Undang Dasar 1945, serta Declaration of Human Right karena pendidikan adalah hak dasar semua manusia.
UU Cipta Kerja ini juga dapat mendorong privatisasi. Secara perlahan, kata dia, negara bisa saja akan melepas tanggung jawab.
Sektor pendidikan masih masuk dalam omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) dan memicu keterkejutan pemangku kepentingan di dunia pendidikan. Mereka merasa dikelabui, lantaran sebelum UU Ciptaker disahkan telah ada pernyataan jika klaster pendidikan ditarik dari pembahasan omnibus law tersebut.
Sektor pendidikan termuat dalam klaster Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bagian Keempat tentang Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi. Aturan yang ada lebih kepada urusan perizinan pendidikan yang termuat dalam Pasal 26 dan 65.
Idealnya memang diperlukan pembentukan satu UU Sisdiknas yang mengatur tentang pendidikan dan tidak ada lagi UU lainnya di luar UU Sisdiknas yang mengatur tentang pendidikan.
Namun, ia menegaskan perlunya dilakukan secara hati-hati dan cermat, agar tidak terjadi sebagaimana kecerobohan ketika penyusunan UU Cipta Kerja.