Perhimpunan Guru Protes Pernyataan Dirjen Kemendikbud Soal Atribut Keagamaan di Sekolah

MONITORDAY.COM - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyatakan bahwa pernyataan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, Jumeri telah membuat para guru resah.
Pernyataan Jumeri diprotes karena menyebutkan bahwa guru agama tidak boleh menetapkan atribut keagamaan sebagai kewajiban.
“Kami menilai pernyataan Pak Jumeri justru bertentang dengan SKB 3 Menteri itu sendiri,” kata Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, di Jakarta, Jumat (12/2/2021).
Menurut dia, pernyataan Dirjen Kemendikbud itu meresahkan terutama bagi guru pendidikan agama.
"Hal ini mengingat adanya Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran Agama Islam (PAI) dalam struktur kurikulum sekolah, yang justru memuat tentang materi mengenakan penutup aurat dan atribut keagamaan Islam lainnya," ungkapnya.
Misalnya ketika siswa siswi belajar Al-Quran, para siswa wajib mengenakan jilbab atau selama pembelajaran PAI berlangsung, guru-guru akan meminta siswa siswinya mengenakan atribut keagamaan seperti jilbab, peci, dan membawa kitab suci.
"Kewajiban penggunaan atribut keagamaan dalam proses pembelajaran agama ini juga saya rasa ada dalam kompetensi mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu atau Aliran Kepercayaan," kata Satriwan.
P2G memandang esensi pesan dari SKB 3 Menteri adalah pelarangan terhadap sikap diskriminatif sekolah/daerah terkait aturan wajib mengenakan jilbab bagi siswi non-Muslim dan aturan pelarangan jilbab bagi siswi Muslim, dan kami sangat setuju.
“Tidak ada tawar-menawar perihal ini,” tambah Kabid Kajian Guru P2G, Agus Setiawan.
Akan tetapi jika aturan SKB 3 Menteri juga dimaknai Kemendikbud dengan melarang guru Pendidikan Agama Islam mengimbau dan mewajibkan siswa muslim mengenakan atribut keagamaan, khususnya dalam proses pembelajaran PAI.
"Itu jelas berpotensi melanggar Permendikbud tentang Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian termasuk UU Guru dan Dosen," tegas dia.
Menurut Agus, pernyataan Dirjen Kemendikbud juga berpotensi menyalahi prinsip dasar pendidikan yang juga tertuang dalam aturan kurikulum yang dibuat Kemendikbud sendiri, yaitu, proses pembelajaran dan pendidikan di sekolah tak hanya memuat aspek kognitif (pengetahuan) saja.
Akan tetapi sebuah proses edukatif untuk membentuk sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Apalagi untuk jenjang pendidikan dasar, pembentukan aspek sikap dan keterampilan lebih dominan ketimbang kognitif.
"Mengenal dan menggunakan atribut keagamaan dalam proses belajar PAI adalah satu satu bentuk pembentukan sikap dan keterampilan siswa muslim. Apalagi di SD dan SMP. Mereka akan mengenal atribut agamanya masing-masing, dihayati, diamalkan, dilanjutkan kepada kompetensi lainnya sesuai jenjang kelas," kata Agus.
Ia menyatakan pelarangan Kemendikbud kepada guru Agama seperti PAI yang mengimbau dan mewajibkan siswa dalam pelajarannya menggunakan atribut keagamaan justru melanggar UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP No. 74 Tahun 2008 dan PP No.19 Tahun 2017 tentang Guru.
Dalam regulasi tersebut, guru memiliki kewenangan melakukan proses pembelajaran dan memberikan penilaian. Pelarangan guru PAI mewajibkan atau mengimbau siswa secara terbatas dalam pelajarannya untuk menggunakan atribut agama juga melanggar prinsip “Merdeka Belajar" yang selama ini digaungkan Kemendikbud.
"P2G menilai Kemendikbud terlampau jauh mengintervensi proses pembelajaran guru agama di kelas. P2G khawatir keputusan itu akan mengganggu proses pembelajaran," ungkap dia.