Kebijakan Fiskal dan Nilai Tambah

Kaya dengan Sumber Daya Alam belum tentu menjadikan sebuah negeri gemah ripah loh jinawi. Suatu saat SDA akan habis. Nilai jualnya juga tak akan cukup tinggi bila berwujud bahan mentah hasil industri pertambangan, komoditas perkebunan, hasil pertanian, dan segala hal yang belum terolah dan memiliki nilai tambah.

Kebijakan Fiskal dan Nilai Tambah
ilustrasi sawit/ net

MONDAYREVIEW.COM - Kaya dengan Sumber Daya Alam belum tentu menjadikan sebuah negeri gemah ripah loh jinawi. Suatu saat SDA akan habis. Nilai jualnya juga tak akan cukup tinggi bila berwujud bahan mentah hasil industri pertambangan, komoditas perkebunan, hasil pertanian, dan segala hal yang belum terolah dan memiliki nilai tambah.

Naik turunnya harga minyak bumi, kelapa sawit, batubara, nikel, timah, kobalt, dan sebagainya terkadang menjadikan kita berada dalam dilema. Saat harga minyak mentah naik kita yang sudah menjadi negara konsumen BBM harus membeli dengan harga mahal. Saat harga minyak mentah turun pendapatan negara dari sektor migas merosot. Karena kita banyak bergantung pada kilang-kilang pengolahan minyak negara lain.

Harga kelapa sawit atau CPO (crude palm oil) pun demikian. Saat Eropa memberlakukan pembatasan pembelian dan menggantinya dengan produk minyak nabati yang dianggap lebih ramah lingkungan maka harga komoditas inipun merosot. Sementara lahan hutan sudah semakin banyak yang terkonversi menjadi lahan perkebunan, hasil perkebunan ini pun mengalami tekanan berat. Ibarat jatuh tertimpa tangga pula.

Demikian pula dengan hasil bumi atau hasil pertanian. Banyak komoditas pertanian yang belum diolah atau mendapatkan nilai tambah sehingga nilainya kurang bersaing dan kurang memberi manfaat bagi ketahanan ekonomi petani. Saat panen harga anjlok, saat paceklik harga melangit. Ironi bagi negeri kita bahwa kita harus menimpor kedelai, bawang putih, gandum, bahkan daging sapi.

Pengertian dari NILAI TAMBAH atau ADDED VALUE adalah selisih lebih di antara harga jual barang dengan harga beli bahan baku, suku cadang, bahan penolong serta jasa yang dibutuhkan dalam proses produksi barang tersebut.

Nilai Tambah merupakan pertambahan nilai suatu barang atau komoditas yang sudah melewati proses pengolahan, pengangkutan atau juga proses penyimpanan yang merupakan tahapan dalam proses produksi.

Nilai Tambah biasanya menempati porsi besar pada perusahaan yang terintegrasi, seperti perusahaan manufaktur, namun porsinya tidak terlalu besar pada perusahaan yang kurang terintegrasi, seperti perusahaan ritel.

Menurut situs Brainly Nilai Tambah difahami bahwa dalam suatu proses produksi terdapat nilai yang ditambahkan dan besarannya sama dengan selisih output dengan input antara. Semisal, pengrajin batik: untuk membuat selembar kain batik sutera seorang pengrajin membutuhkan bahan-bahan yang terdiri dari kain sutera, malam/lilin, pewarna, minyak tanah/gas dan lain sebagainya. Perubahan semua nilai bahan di atas menjadi nilai batik yang disebut sebagai penambahan nilai. Kain sutera tidak lagi disebut kain sutera, tapi batik sutera dan seterusnya.

Kehadiran industri pengolahan tentu menjadi penting. Bahan baku yang telah mengalami perubahan nilai karena mengalami pengolahan dapat diperkirakan seberapa besar nilainya. Produk–produk pertanian yang biasa diolah lebih lanjut dan menghasilkan nilai tambah antara lain kelapa sawit, karet, ubi kayu, pisang, coklat, dan kelapa (coconut).

Produk-produk tersebut saat ini masih luput dari perhatian serius untuk dikembangkan nilai tambahnya padahal Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Misalnya saja untuk kelapa sawit, sebagian besar hasil panen hanya diolah sampai level crude palm oil (CPO). Oleh karena itu, pengolahan produk-produk pertanian perlu dilakukan oleh semua pihak agar nilai tambah yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan nasional.

Nilai tambah yang semakin besar atas produk pertanian khususnya kelapa sawit dan karet tentunya dapat berperan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang besar tentu saja berdampak bagi peningkatan lapangan usaha dan pendapatan masyarakat yang muara akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Akan tetapi kondisi yang terus berlangsung saat ini, produk pertanian seperti kelapa sawit dan karet dalam jumlah yang signifikan masih diekspor tanpa mengalami pengolahan lebih lanjut di dalam negeri. Akhirnya keuntungan nilai tambah atas kedua produk pertanian tersebut hanya dinikmati oleh pihak asing.

Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban untuk memberikan regulasi yang mendorong bagi peningkatan nilai tambah atas kedua produk pertanian tersebut. Pihak Kementerian Keuangan, perlu melakukan kebijakan fiskal apa saja yang dapat membantu mendorong peningkatan nilai tambah atas kedua produk pertanian tersebut. Demikian dikutip dari laporan penelitian Badan Kebijakan Fiskal di situs resmi Kementerian Keuangan.

Pada dasarnya semua pihak baik regulator maupun pelaku usaha serta gabungan pengusaha kelapa sawit maupun karet sangat mendukung program hilirisasi. Untuk mendukung program hilirisasi kelapa sawit sangat membutuhkan industri terpadu seperti halnya kawasan industri terpadu Simangke.

Sedangkan terkait komoditas karet diperlukan peningkatan kegiatan industri terpadu dan industri inovatif karet, yang perlu didukung Pemerintah dalam sisi pendanaan dan sistem birokrasi serta regulasi yang memadai.

Iklim investasi yang masih belum kondusif. Untuk mempercepat laju investasi di bidang kelapa sawit dan agribisnis karet serta industri karet masih diperlukan beberapa kebijakan pendukung antara lain penciptaan iklim investasi yang makin kondusif antara lain melalui tindakan penghapusan berbagai pungutan yang memberatkan iklim usaha.

Demikian juga pemberian rangsangan kepada pengusaha untuk menghasilkan end product bernilai tinggi yang non ban yang prospek pasarnya di dalam negeri cerah, pemberian kemudahan dalam proses perijinan, kebijakan pemberian pembebasan pajak (tax holiday) selama masa tanam atau pabrik belum produksi kepada industri-industri karet dan kelapa sawit yang mempunyai nilai strategis, serta kepastian hukum dan keamanan baik untuk usaha maupun lahan bagi perkebunan.

Pengembangan dan perbaikan infrastruktur dibeberapa wilayah sentra kelapa sawit dan produk karet masih belum memadai seperti perbaikan jalan, jembatan, pelabuhan, transportasi, komunikasi serta sumber energi listrik. Demikian juga belum adanya kawasan industri terpadu yang memberikan akses industri guna peningkatan nilai tambah produk-produk kelapa sawit dan karet beserta produk turunannya tersebut.

Bea Keluar CPO saat ini masih cukup efektif untuk membendung ekspor bahan baku kelapa sawit sehingga diharapkan produk CPO tersebut dapat diproduksi lebih lanjut sehingga nilai tambah akan meningkat. Sehingga bea keluar CPO dapat diteruskan.

Namun hendaknya BK tersebut tidak dijadikan instrumen penerimaan negara tetapi hanya sebagai kebijakan temporer. Beberapa daerah menghendaki penerimaan BK tersebut dapat disalurkan kembali ke daerah melalui mekanisme perimbangan keuangan atau seperti halnya mekanisme Pajak Bumi dan Bangunan yang dishare ke daerah propinsi maupun daerah tingkat dua.