Karunia Allah bagi Orang Beriman

MONITORDAY.COM - “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS.3:164).
Rabiul awal merupakan bulan kelahiran Muhammad. Menurut sebagian ahli sejarah, beliau dilahirkan hari senin pada tanggal 12 rabiul awal. Ketika dilahirkan beliau belum diangkat sebagai nabi dan rasul.
Bagi sebagian kaum muslimin, pada bulan rabiul awal ada tradisi ‘Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW’. Tradisi ini menimbulkan ikhtilaf di kalangan para ulama. Menurut sebagian ulama, ‘bid’ah’ ada karena tidak ada tuntunan dari Rasulullah. Dan menurut ulama lainnya ‘boleh’ selama dalam rangka menunjukkan kecintaan terhadap nabi dan meninggikan ajaran Islam.
Selain itu, ada pula yang berpendapat, jika perayaan itu dihubungkan dengan diutusnya Muhammad sebagai nabi dan rasul, idealnya perayaan maulid nabi bukan pada bulan rabiul awal.
Muhammad SAW diangkat sebagai nabi dan rasul setelah berusia 40 tahun dari kelahirannya. Sehingga, perayaan maulid nabi seharusnya bersesuaian dengan bulan saat diangkatnya muhammad sebagi nabi dan rasul.
Ikhtilaf itu akan terus berlangsung di kalangan kaum muslimin sesuai dengan niat, ilmu, dan persepsinya masing-masing. Hal yang terpenting, apa makna kehadiran rasul bagi manusia? Bagaimana seharusnya manusia menyambut kehadiran rasul?
Keyakinan Tentang Yang Maha Kuasa
Sebelum Rasul diutus, dalam konteks akidah keyakinan tentang adanya yang Maha Kuasa sudah ada pada diri meraka. Menurut O. Hashem dalam bukunya Muhammad Sang Nabi, mereka sudah meyakini adanya tuhan yang disebut dengan kosa kata ‘Allah’.
Puisi-puisi sebagai produk seni masyarakat yag disusun para penyair banyak menuliskan kata ‘Allah’. Kosakata ini ditemukan pula dalam prasasti, tertulis diatas bebatuan, maupun pada nama seseorang, seperti ‘Abdullah’ (ayah nabi) yang berarti hamba Allah.
Bagi mereka, ‘Allah’ dianggap sebagai pencipta dunia, sosok yang menurunkan hujan dan menghidupkan bumi, serta penguasaan atas Ka’bah. ”Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”(QS.31:25).
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? Tentu mereka akan menjawab Allah. Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak memahaminya”(QS.29:63).
Di samping itu, bagi mereka ada berhala yang merupakan perantara atau syafaat dalam memohon kepada ‘Allah’ sebagai Tuhan tertinggi. Mereka mengingat ‘Allah’ tatkala tertimpa bahaya, tetapi kembali menyekutukannya setelah selamat.
”Dan bila mereka dilamun ombak dahsyat yang menutup mereka, mereka menyeru ”Allah” dengan ikhlas taat kepada-Nya. Tapi setelah Kami selamatkan sampai ke darat, mereka segera menyekutukan (Allah)”(QS.29:65).
Kendati mereka percaya kepada ‘Allah’ sebagai Pencipta, Pemberi Hidup, atau Pelindung Ka’bah. Kenyataannya, ‘Allah’ tidak begitu berperan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Syair-syair jahililah mengungkapkan bahwa yang menguasai dan mengatur hidup adalah waktu (dahr, zaman). Waktulah yang membuat meraka berperang dan mengakhiri ajal. Bila mati, ‘ruh’ akan terbang bersama angin. Tiada akhirat, hidup ini hanya kini dan disini.
Kehidupan Individu dan Sosial
Sebelum nabi diutus, minum khamr, berjudi, dan mengundi nasib menjadi tradisi yang kuat dalam kehidupan sosial masyarakat Arab. Pengundian nasib dilakukan pada saat meraka akan melakukan suatu kegiatan atau bepergian.
Biasanya, pengundian itu menggunakan tiga anak panah. Caranya menuliskan pada masing-masing anak panah dengan ‘ya’, ‘tidak’ dan kosong. Ketika ingin bepergian atau melakukan suatu kegiatan, mereka mengundinya.
Jika yang keluar ‘ya’, mereka pergi atau melakukan kegiatan. Jika ‘tidak’, maka tidak jadi pergi dan tidak melakukan kegiatan. Dan jika yang keluar kosong maka diundi lagi.
Selain dengan anak panah, mereka juga menggantungkan nasib melalui burung-burung, yaitu mengusir burung ketika ingin bepergian. Jika terbang ke kanan berarti terus dan jika ke kiri berarti harus diurungkan.
Untuk mengetahui nasib dan masa depannya, merekapun mempercayai berita-berita ahli nujum, peramal dan dukun.
Sebelum nabi diutus, terkait dengan masalah waktu, bagi mereka ada waktu baik dan waktu buruk. Mereka menunjukkan sikap pesimis dengan bulan-bulan tertentu, misalnya bulan Safar. Mereka mengubah aturan haji dengan tidak mengizinkan orang luar Mekkah berhaji kecuali dengan memakai pakaian dari mereka. Jika tidak mendapatkan, maka diharuskan melakukan thawaf dengan telanjang.
Sebelum nabi diutus dalam konteks hubungan jenis kelamin. Bagi mereka hubungan lain jenis sangat rendah, khususnya di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Ada salah satu cara pernikahan yang dilakukan mereka. Seorang wanita menancapkan bendera di depan rumah. Ini merupakan isyarat untuk mempersilahkan laki-laki siapapun yang ingin ‘mendatanginya’.
Jika sampai melahirkan, maka semua yang pernah melakukan hubungan dikumpulkan dan diundang. Kemudian seorang ahli nasab, untuk menentukan siapa bapaknya, jika sudah ditetapkan, sang bapak harus menerima anaknya dan menikahi ibunya.
Sebelum nabi diutus, poligami tidak terbatas. Seorang laki-laki bisa menikahi wanita sebanyak mungkin sesuai yang dia mau. Menjadi hal yang biasa seorang anak menikahi bekas istri ayahnya dengan mahar sekehendak laki-lakinya. Jika wanita itu tidak mau, maka anak tersebut bisa melarang si wanita untuk menikah kecuali dengan laki-laki yang diizinkannya.
Dalam banyak hal, di masa itu wanita terzalimi. Bahkan yang tidak berdosapun merasakan kezaliman itu. Bayi-bayi yang dilahirkan dengan jenis kelamin wanita ditanam hidup-hidup karena takut miskin dan hina.
(Bersambung)