Karena Film Adalah Propaganda Dengan Caranya Tersendiri
Dan di arena demokrasi biarkanlah film berpropaganda dengan caranya tersendiri, sepanjang tidak melabrak konstitusi dan peraturan perundangan.

MONDAYREVIEW.COM – Film ‘Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI’ kembali menjadi perbincangan di ruang publik. Nonton bareng yang dilakukan sejumlah instansi mengapungkan kembali pendapat bahwa film karya sutradara Arifin C Noer tersebut merupakan media propaganda pada masanya.
Di era demokrasi ini ragam informasi dapat direguk. Maka film ‘Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI’ tentu bisa disandingkan dan dibandingkan dengan sejumlah referensi baik film maupun tulisan. Menihilkan, menafikan film ‘Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI’ berarti mencederai logika demokrasi yang bertumpu pada kebebasan mengemukakan pendapat dan berekspresi.
Dalam ragam film berlatar sejarah tokoh di Indonesia sejumlah resistensi pun muncul. Disandingkan dan dibandingkan dengan “fakta sejarah” merupakan sesuatu yang lumrah. Bukankah begitu hakikat sebuah karya – ketika dirilis ke publik maka pro dan kontra biasa terjadi. Dalam beberapa tahun belakangan sejumlah tokoh sejarah Indonesia diangkat ke sinema – sosok Sukarno, KH.Ahmad Dahlan, KH Hasyim Ashari, Kartini, HOS Tjokroaminoto, merupakan contohnya. Sejumlah film yang menyertakan tokoh sejarah tersebut pada derajat tertentu mendapatkan resistensi karena dianggap tidak berkesesuaian dengan “fakta sejarah”.
Lalu bagaimanakah dengan sejumlah film Hollywood yang menghegemoni dan mengheroikkan orang Amerika Serikat sebagai pahlawan. Film ‘Rambo’ diantaranya dimana Amerika Serikat yang fakta sejarahnya babak belur di Vietnam, malahan di film tersebut muncul sebagai pemenang.
Maka film adalah propaganda dengan caranya tersendiri. Sama seperti artikel, pemberitaan, maka ada ruang dialog, skeptisme, dan verifikasi yang bisa dilakukan. Dan di arena demokrasi biarkanlah film berpropaganda dengan caranya tersendiri, sepanjang tidak melabrak konstitusi dan peraturan perundangan.