Karakter Generasi Shadiqin
ALLAH Swt. pasti memiliki tujuan dalam menciptakan segala sesuatu, termasuk penciptaan manusia.

ALLAH Swt. pasti memiliki tujuan dalam menciptakan segala sesuatu, termasuk penciptaan manusia. Wujud manusia diciptakan Allah sebagai makhluk sempurna dengan tujuan beribadah kepada Allah. Maka sebagai insan mulia tidak sepantasnya manusia menyekutukan Allah. Untuk itu mari meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah sebab manusia mulia hakikatnya yang paling bertakwa. Sebagaimana firman Allah Swt.: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama shadiqin." (QS: Al-Taubah: 119). Dalam ayat tersebut, ada dua perintah Allah kepada manusia yaitu perintah untuk bertakwa dan menjadi orang shadiqin. Dalam bertakwa kita mengikuti jalan shadiqin yaitu orang yang berkhidmat karena memiliki kepercayaan yang tinggi. Ini sebagaimana dicontohkan Abu Bakar yang mendapat julukan “ash-shiddiq” karena ketika Rasulullah Isra dan Miraj ia percaya penuh apa yang dikatakan oleh Rasulullah, bahkan mengatakan :”lebih dari itu pun saya percaya.” Tingkat kepercayaan semacam inilah yang membuat Abu Bakar memperoleh gelar mulia tersebut.
Ciri berikutnya dari orang shadiqin adalah memiliki kedalaman ilmu. Para ulama dan ahli tafsir mengartikannya sebagai ulama. Mengapa ilmu penting? Sebab tanpa ilmu manusia akan tersesat dan jatuh dalam kebodohan. Dalam menuntut ilmu selain dipelajari dan didiskusikan juga harus diamalkan sehingga bermanfaat bagi kehidupan masyarakat luas. Ilmu bukan untuk diperdebatkan sebab jika itu yang terjadi akan menghasilkan dampak berbagai macam kerusakan dalam kehidupan. Sekarang kita dapat melihat betapa kerusakan di darat, laut dan udara akibat kesombongan manusia dan kesibukan sebagian dari mereka dalam memperdebatkan ilmunya masing-masing. Sehingga terjebak pada egoisme ilmiahnya tanpa mau memperhatikan kepentingan lingkungan dan alam sekitarnya.
Manusia yang menyandang gelar shadiqin juga harus memiliki hati yang ikhlas dalam mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Bagaimanapun kita harus sadar ilmu itu datangnya dari Allah sehingga jadikan ilmu kita sebagai sarana memurnikan ketaatan kepadanya sebagaimana firman Allah: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5). Kita perlu kembali mengingat pesan Imam Ghazali bahwa semua manusia itu sia-sia, rusak, kecuali orang yang berilmu. Yang berilmu pun sia-sia, kecuali yang mengamalkan ilmunya. Dan yang mengamalkan ilmunya pun sia-sia, kecuali amalnya disertai dengan keikhlasan. Jangan sekalipuun terpikir untuk kikir dalam membagikan ilmunya, sebab ilmu diciptakan untuk membuat manusia semakin tawadhu dan sholeh. Jika karena kedalaman ilmunya manusia menjadi sombong dan merusak amalnya, maka merugilah manusia seperti ini karena dia gagal mengendalikan ilmu yang dimilikinya untuk potensi kebaikan.