Jokowi, Holtekamp, dan Masa Depan Papua
Pemerintah Jokowi sejatinya tak sekadar datang dan meninjau, namun memulai untuk membangun, memulai untuk ‘bekerja’ memajukan rakyat Papua.

SAAT BERBINCANG santai dengan sejumlah budayawan di Istana, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat bercerita bahwa dirinya pernah blusukan dan menemukan bahwa masih banyak daerah RI yang tertinggal. Jokowi pun menyebut sebuah kabupaten di Papua bernama Nduga. Jokowi mengaku pernah blusukan ke sana dari Wamena pada 2016.
Tentu saja, jika dibandingkan dengan di kabupaten-kabupaten di Pulau Jawa, kondisi di kabupaten yang baru diresmikan pada 2008 itu amat jauh berbeda. Apalagi menurut Jokowi, dirinya tidak menemukan satu pun jalanan beraspal ketika itu.
“Itu kabupaten, di Tanah Air ini yang aspal satu meter pun enggak ada. Itu ibukotanya saja enggak ada aspal, dapat dibayangkan distrik-distriknya seperti apa,” ujar Jokowi, di Jakarta, Jum’at (6/4/2018).
Topik hangat itu nampaknya mendorong Jokowi untuk sejenak mengalihkan perhatiannya ke provinsi paling timur tersebut. Jokowi dengan didampingi Iriana lalu bertolak ke Jayapura, Papua dengan menggunakan pesawat kepresidenan Indonesia-1 dari pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (11/4) pukul 08.15 WIB. Salah satu agenda Jokowi di Papua adalah meninjau Jembatan Holtekamp. Jembatan sepanjang 732 meter yang berada di atas Teluk Youtefa ini menghubungkan Kota Jayapura dengan Distrik Muara Tami di Provinsi Papua.
“Jembatan ini memangkas waktu tempuh dari Kota Jayapura menuju perbatasan Skouw yang semula 2,5 jam, menjadi hanya 60 menit saja,” kata Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden (Setpres) Bey Machmudin dalam siaran persnya.
Bagi para pendatang, atau siapa pun dari luar Papua, Bumi Cenderawasih merupakan magnit bagi siapa pun, terutama bagi para pencari logam mulia. Sesekali, tengoklah sepanjang sungai Aghawagong, tempat dimana aliran pembuangan tailing PT Freeport Indonesia, para meno atau pemuda lainnya dari berbagai daerah hiruk pikuk mendulang emas. Papua sejatinya juga surga bagi para traveler. Mereka seolah dimanjakan oleh keindahan alam Papua, oleh hamparan lahan berbukit nan landai dan indah di sepanjang jalan Sentani-Jayapura, atau aliran sungai Membramo yang berkelok-kelok membelah hamparan hutan di selatan Pengunungan Foja.
Papua sejatinya tak sekadar menyimpan rahasia kekayaan alam semata. Karena lambat laun, semua itu akan habis dimangsa nafsu serakah manusia. Buktinya, sejak ekspedisi Freeport dimulai hingga sekarang, bisa dikatakan tak ada satupun peninggalan kita yang dapat diwariskan kepada anak cucu. Sepantasnyalah bumi sekaya Papua, memiliki landmark yang menjadi identitas dan simbol pemersatu rakyat Papua.
Disinilah kemudian pentingnya Jokowi mengalihkan semua perhatian itu pada aspek dan potensi lainnya di Papua. Di Papua perlu dibangun kota-kota baru tempat warga Papua menuai mimpi. Kota yang menyediakan menyediakan hampir semua keinginan dan impian, janji kesejahteraan, landmark yang menawan, pengelolaan sampah yang modern, pengendalian banjir, sistem transportasi yang futuristik, dan tentu saja juga tata kehidupan yang lebih harmonis antara tradisi dan kemajuan.
Apakah sebuah kota impian hanya bisa terwujud hanya dengan menerapkan konsep mix used development maupun mantra lainnya dalam konsep smart city? Jawabannya, tak selalu begitu apalagi dalam konteks Papua. Inilah sebetulnya yang hendak diwujudkan dengan membangun Jembatan Holtekamp. Dengan landmark ini, maka Jayapura akan terhubung dengan sebuah dataran luas yang berpotensi menjadi pusat peradaban baru di Papua.
Jembatan ini telah lama dimimpikan masyarakat Papua, yang selain sebagai landmark juga sebagai simbol pemersatu rakyat Papua. Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa, pulau-pulaunya pun sangat banyak. Tantangan besar jika kelak bisa membangun jembatan menuju pulau-pulau yang ada di sepanjang Pulau Papua. Kehadiran “Jembatan Mimpi Menyatukan Papua” lahir dari keinginan untuk memudahkan orang Papua dari satu kota, kampung, desa dan pengunung untuk saling berhubungan, tentunya dengan semakin tingginya hubungan sosial ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kota-kota di Papua.
Gubernur Lukas Enembe, dalam sebuah diskusi hangat di Jayapura, Gubernur papua Lukas Enembe pernah berujar, bila Holtekamp adalah “Jembatan Mimpi Menyatukan Papua” yang bukan saja untuk memenuhi prasarana transportasi darat tentang perpindahan barang dan orang, tetapi juga bagian penting untuk mewujudkan kehidupan sosial, budaya dan memperhatikan lingkungan.
“’Jembatan Mimpi Menyatukan Papua’ sangat mempertimbangkan pembangunan dengan pola pendekatan wilayah agar tercapainya keseimbangan dan pemerataan, demi terwujudnya sila ke 5 dari Pancasila, ‘keadilan sosial’ bagi semua orang Papua, bukan yang selama ini terjadi,’ ujar Enembe.
Hadirnya Jembatan Holtekamp dengan begitu akan semakin mempercepat denyut nadi dan geliat dari lahirnya ekonomi kreatif di tiap-tiap desa, kampung dan kota-kota. Jembatan ini di masa depan diharapkan semakin memberi kemudahan. Bukan hanya untuk gaya-gayaan, atau pencitraan politik semata, tetapi Holtekamp memang menjadi kebutuhan yang mendesak untuk memutus keterisolasian. Holtekam bukanlah “Jembatan Mimpi” yang terakhir, tetapi akan lahir “Jembatan Mimpi” lainnya yang nanti akan menyambungkan semua tanah-tanah Papua.
Inilah yang kiranya mesti diperhatikan Pemerintah Jokowi. Ia tak sekadar datang dan meninjau, namun memulai untuk membangun, memulai untuk ‘bekerja’ memajukan rakyat Papua. Hal lain yang teramat penting adalah Jokowi juga mesti segera menyelesaikan pembahasan RUU Otsus Plus Papua. Kenapa begitu, karena seandainya Jokowi kembali terpilih di 2019, maka dirinyalah yang kelak akan memutuskan apakah pemberian dana otsus yang berakhir pada 2021 dilanjutkan atau tidak. Artinya, masa depan Papua akan ditentukan oleh Jokowi sendiri.
[Mrf]