Jokowi dan Energi Masa Depan Indonesia
Sektor energi memang memiliki posisi dan peran strategis dalam tata kelola dunia di abad mutakhir.

BAGAI dedaunan yang luruh di senja hari, beragam aspek ketahanan nasional seakan terjatuh meninggalkan kita satu demi satu, lepas dari tangkainya, terkubur di bumi yang merah. Entah karena kurang bersyukur, atau tata kelola yang keliru. Namun nyatanya, kecenderungan ini telah menjadi fenomena yang menggejala. Mulai dari krisis pangan, krisis finansial hingga apa yang saat ini menjadi komoditas utama perekonomian dunia, dus juga menjadi sumber utama konflik dunia, yaitu krisis energi.
Sektor energi memang memiliki posisi dan peran strategis dalam tata kelola dunia di abad mutakhir. Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju saat ini seakan tidak dapat dipisahkan dari energi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi sebuah negara, maka semakin tinggi pula intensitas penggunaan energi.
Lihat saja Amerika Serikat, yang menyerap sekitar 2.331 juta ton minyak atau setara 22,8 persen dari total konsumsi minyak mentah dunia, lalu China dengan 1.386 juta ton atau 13,6 persen dari total konsumsi minyak bumi dunia, Rusia dan Jepang yang masing-masing mengonsumsi 6,5 persen dan 5 persen dari total konsumsi minyak dunia. Sementara Indonesia sebagai negara yang sedang intensif memacu pertumbuhan ekonominya mengonsumsi 1,1 persen dari total konsumsi minyak dunia. Data konsumsi ini baru dalam sektor minyak saja, belum lagi gas, batubara dan sumber energi lainnya.
Sebetulnya bagi Indonesia, sektor energi betul-betul telah menjadi primadona ekonomi. Dunia mencatat bahwa di sektor migas Indonesia termasuk dalam jajaran 20 besar negara penghasil minyak terbesar di dunia. Dimana pada tahun 1977, Indonesia berhasil mencapai produksi (lifting) minyak tertinggi sebesar 1.686 bph. Tahun 2005 Indonesia adalah produsen gas alam terbesar dibandingkan dengan seluruh negara di Asia Oceania, Afrika, (2.606 Trilion Cubic Feet), dan termasuk dalam 10 Negara penghasil gas terbesar di dunia (Rusia, Amerika Serikat, Canada, Iran, Algeria, Inggris, Norwegia, Montenegro, Belanda, Indonesia). Data lainnya menyebutkan bahwa Tahun 2008, Indonesia berada pada urutan ke-7 negara pengekspor gas terbesar di dunia. Selain itu, Indonesia termasuk dalam 20 besar negara penghasil minyak mentah terbesar di dunia.
Sayangnya, lifting minyak domestik tidak sepadan dengan tingkat konsumsi energi masyarakat. Karena nyatanya ada keterbatasan sumber daya alam, khususnya bahan bakar fosil. Sementara kegiatan eksplorasi untuk menemukan sumber-sumber migas dan minerba yang baru membutuhkan investasi (cost recovery) yang tidak sedikit.
Dalam posisi seperti ini, maka kemandirian ekonomi menuntut siapa pun dan negara manapun untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT). Dan salah satu jenis energi masa depan yang memungkinkan untuk dikembangan di Indonesia adalah energi bayu atau angin. Karena itu, kita patut memberikan apresiasi karena Presiden Jokowi kemarin meresmikan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Kabupaten Sindenreng Rappang (Sidrap), Provinsi Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018).
Dalam kesempatan tersebut, Jokowi mengatakan bahwa, pemerintah berkomitmen akan terus mengembangkan pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan seperti PLTB di Kabupaten Sidrap ini.
“Tidak hanya di Kabupaten Sidrap saja, tapi juga dikerjakan dan selesai 80 persen juga di PLTB Kabupaten Jeneponto. Selain itu juga sudah dikerjakan di kabupaten Tanah Laut dan akan dimulai segera. Kita harapkan pembangunan PLTB juga dilakukan segera di Jawa Barat, yaitu kabupaten Sukabumi,” terang Jokowi.
Hebatnya, PLTB Sidrap yang diresmikan Jokowi tersebut merupakan PLTB terbesar yang beroperasi di Indonesia. Memiliki 30 kincir angin dengan tinggi tower 80 meter dan panjang baling-baling 57 meter, masing-masing menggerakkan turbin berkapasitas 2,5 MW, sehingga total kapasitas yang dihasilkan oleh 30 turbin adalah 75 MW.
Banyaknya kincir angin di PLTB Sidrap ini, bahkan membuat Jokowi sempat berseloroh bila dirinya sedang berada di Negeri Kincir Angin, Belanda. “Saya lihat baling-balingnya muter semuanya, artinya angin disini lebih dari cukup. Tadinya saya merasa ini kayak di yang banyak seperti ini (kincir), dimana? Ya di Belanda. Kok serasa di Belanda gitu. Kayak di Eropa, tapi kita di Sidrap,” ujar Jokowi.
Selain tenaga angin, Indonesia perlu juga mengembangan sumber energi alternatif lainnya, seperti panas bumi (geotermal), energi matahari, hingga energi air. Untuk geotermal atau panas bumi, di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 28,5 Giga Watt electrical (GWe) yang terdiri dari resources 11.073 MW dan reserves 17.453 MW. Contoh paling dekat, bisa kita lihat di PLTP Salak yang berada di Cibeureum-Parabakti, Jawa Barat, tak jauh dari Istana Bogor.
Potensi lainnya terutama air dan matahari, bahkan bisa dikembagkan dengan mendirikan pembangkit-pembangkit mikro seperti telah dilakukan secara swadaya oleh masyarakat di sekitar pegunungan halimun-salak Bogor-Sukabumi misalnya. Secara mandiri, mereka bisa memnuhi kebutuhan listriknya sendiri. Bayangkan, seandainya upaya seperti itu dilakukan secara massif dengan dukungan pemerintah dan pihak swasta lainnya, tentu saja problem elektrifikasi yang saat ini masih rendah di beberapa daerah, akan dapat teratasi. Semoga.