Jalan Panjang Kedaulatan Pangan
Mimpi buruk krisis pangan tak bisa dielakkan. Sebagai gambaran kecil, antara pasokan padi oleh para petani dan tingkat konsumsi beras oleh masyarakat secara umum tidak seimbang.

Apa yang ada di benak Anda bila dunia, atau lebih tepatnya negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RRT), atau sejumlah negara di Eropa, mengalami krisis pangan? Akankah mereka kembali menjadi negara-negara kolonial, menjajah negeri-negeri berkembang, dan terjadilah perang di mana-mana. Ya. Semua itu (mungkin) saja akan dialamatkan sebagai upaya menyelamatkan bangsanya masing-masing dari ancaman kelaparan.
Jauh-jauh hari, krisis pangan menjadi salah satu isu sensitif yang menjadi pusat perhatian banyak negara maju. Ancaman kelangkaan ini bisa benar-benar menjadi nyata tatkala negara-negara dengan ekonomi maju dan berkembang terus dipaksa melakukan program pembangunan. Sayangnya, agenda pembangunan yang banyak dilakukan oleh negara-negara ini jauh dari kata “menyelamatkan bumi”.
Atas nama pembangunan, lalu hutan-hutan ditebang. Demi sebuah kemajuan, lantas daerah resapan air diubah menjadi kawasan gedung-gedung. Kemudian, untuk mengangkat derajat ekonomi dan pendidikan, anak-anak muda berani meninggalkan kampung halaman dan mengabaikan ladang-ladang warisan keluarga. Mereka berbondong-bondong pindah ke kota, sementara tanah sawah berhektar-hektar dijual ke pengembang, dan dibangunlah kawasan perumahan.
Praktis, mimpi buruk krisis pangan tak bisa dielakkan. Sebagai gambaran kecil, antara pasokan padi oleh para petani dan tingkat konsumsi beras oleh masyarakat secara umum tidak seimbang. Akibatnya, satu-satunya solusi mengatasi masalah adalah dengan melakukan impor beras.
Itulah salah satu kasus yang terjadi di negeri kita. Dulu kita dikenal sebagai eksportir bahan pangan, tapi kini kita sangat bergantung pada yang namanya beras impor. Dahulu, jika kita menaiki kereta api jalur selatan Malang – Jakarta atau Surabaya – Jakarta di jalur selatan, maka yang tampak di sisi kanan dan kiri yang dilewati kereta, adalah barisan petak-petak ladang padi yang tak habis luasnya dipandang mata. Tetapi itu dahulu, kini ladang-ladang itu masih ada, hanya tidak semenarik dulu karena sebagiannya sekarang sudah berubah menjadi rumah, pertokoan, atau ladang yang tidak terurus.
Sebagian pakar yang berkosentrasi pada bidang ini, sejak lama sudah mengingatkan bahwa Indonesia diprediksi akan mengalami krisis pangan yang benar-benar serius pada 2045. Pada saat itu, jumlah penduduk Indonesia akan meningkat tiga sampai lima kali lipat dari yang sekarang mencapai 255 juta jiwa. Artinya, pasokan padi dan bahan pangan yang lainnya jauh lebih tinggi dari sekarang. Sementara di sisi yang lain, kita kekurangan lahan dan SDM untuk memproduksi bahan-bahan pangan tersebut.
Di tengah “masa gersang” itu, muncul sedikit oase yang memberikan kesegaran dalam permasalahan ini. Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam berbagai kebijakannya mengarusutamakan pada program kedaulatan pangan. Salah satu agendanya adalah akan menciptakan 200 ribu petak sawah. Rencananya, petak-petak sawah tersebut akan terpusat di sejumlah provinsi di luar Jawa. Alasannya, masih banyak lahan kosong yang berada di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Untuk daerah-daerah di Jawa tidak menjadi pusat program tersebut lantaran kesulitan dalam pencarian lahan baru. Akan tetapi, dalam rangka menggagas swasembada pangan di seluruh wilayah Indonesia, Kementerian Pertanian menyediakan benih padi gratis kepada para kelompok petani seperti yang sudah terlaksana di Banten dan Jawa Tengah.
Prioritas lain yang dilakukan Mentri Amran adalah memastikan rantai pasokan pangan dari mafia-mafia yang tak berkemanusiaan. Sudah menjadi polemik yang umum bahwa sektor pangan nasional menjadi “lahan bisnis” yang empuk bagi para mafia kartel. Selama ini, individu-individu yang berkomplot itu dicurigai sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam setiap kenaikan harga pangan.
Sebab itu, pemerintah melalui Kementerian Pertanian punya tanggungjawab besar untuk berdiri melawan komplotan pedagang perantara (middle men) tersebut. Menurut Amran, middle men adalah komplotan pedagang perantara yang seenak hati membuat naik-turun harga pangan. Dalam diri dan hati mereka, tidak ada niat sedikitpun untuk mengangkat kesejahteraan petani. Memberi keuntungan yang sedikit lebih besar dari hasil kerja keras menanam dan mengawasi ladang-ladang padi mereka selama berbulan-bulan.
Mentan menegaskan, dirinya tidak akan menyerah menghadapi para middle men dan mafia pangan yang selama ini justru merusak tatanan pertanian. Saat ini, katanya, para mafia dan middle men mengalami kerugian karena Indonesia berhasil panen raya yang justru biasanya paceklik.