Jadi Profesor Bidang PAI, Ini yang Dibahas Abdul Mu'ti
Tema Pembaruan PAI Pluralistik antar Abdul Mu'ti jadi Guru Besar UIN Jakarta

MONITORDAY.COM - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti resmi menyandang gelar profesor dan dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Agama Islam di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu (02/09/20).
Dalam acara pengukuhan tersebut, pria yang akrab disapa Mu’ti ini menyampaikan pidato berjudul “Pendidikan Agama Islam Yang Pluralistis: Basis Nilai Dan Arah Pembaruan”. Menurutnya, untuk mengembangkan model PAI Pluralistis diperlukan empat arah pembaruan.
Pertama, pembaruan kebijakan ke arah PAI yang lebih inklusif.
Mu’ti menilai, ketentuan pendidikan Agama hanya dapat dilaksanakan apabila dalam satu kelas terdapat murid seagama, minimal 15 orang dapat menimbulkan masalah.
“Peraturan ini perlu diubah ke arah yang lebih inklusif, sehingga setiap pemeluk Agama, apa pun Agamanya dan berapa pun jumlahnya dapat memperoleh pendidikan Agama yang sesuai dengan Agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama,” ujar Mu’ti.
Kedua, pembaruan pendekatan pembelajaran ke arah yang lebih mindful, meaningful, dan joyful.
Muti berpendapat, pendekatan yang mindful dan meaningful dapat terlaksana dengan baik apabila metode dan suasana pembelajaran menyenangkan (joyful).
“Selama ini pembelajaran PAI masih terlalu teacher-centered, top-down, dan doktriner sehingga murid cenderung belajar dengan orientasi surface (sebatas mengerjakan tugas) dan achievement (berkompetisi mendapatkan skor tinggi) sesuai kehendak guru,” jelasnya.
Ketiga, pembaruan kurikulum.
Mu’ti mengatakan, banyak pihak menilai muatan PAI terlalu berat, tumpang- tindih, banyak redundancy, terlalu dominan aspek ritual ibadah mahdlah, muamalah, dan akhlak personal. Sementara itu, muatan toleransi dan kehidupan keummatan dan kebangsaan sangat minim.
“Pelajaran tentang bagaimana melaksanakan (kaifiat) shalat tidak perlu diajarkan di satuan pendidikan, tetapi cukup dipelajari di dalam keluarga atau lembaga pendidikan agama tradisional seperti masjid, mushalla, dsb. Yang diajarkan di satuan pendidikan adalah dalil-dalil naqli dan aqli tentang kedudukan shalat, waktu- waktu shalat, hikmah, dan makna shalat dalam meraih ketenangan hidup, kebahagiaan, dan kehidupan serta transformasi shalat dalam kehidupan kebangsaan yang bebas dari kemungkaran dan kerusakan,” tuturnya.
Keempat, pembaruan sistem penilaian.
Mu’ti mengatakan, selama ini praktik PAI terlalu sarat dengan ulangan (examination ridden). Belajar identik dengan mengerjakan tes dari LKS dengan model objektif: pilihan ganda atau isian dengan satu jawaban tunggal.
Menurutnya, model tes ini dapat menimbulkan penyeragaman paham agama. Ruang pluralitas terbatas bahkan mungkin tertutup karena tidak ada kesempatan bagi murid mengemukakan pendapat atau menuangkan pengalaman keagamaan.
“Evaluasi perlu lebih diarahkan pada aspek sikap dan perilaku, bukan menguji pengetahuan semata (evaluation of learning). Ujian nasional pendidikan Agama Islam sudah seharusnya dihapuskan karena tidak sesuai dengan tujuan pendidikan agama dan tidak kondusif dalam konteks PAI Pluralistis,” terangnya.