Indonesia, Ketahanan Energi dan Momentum Menggerakkan Sektor Industri Manufaktur

MONITORDAY.COM - Indonesia harus waspada terhadap ancaman krisis energi. Kini Indonesia adalah negara importir minyak dan gas. Meski kita juga mengekspor batubara dan minyak sawit. Tanpa upaya serius untuk menyiapkan ketahanan energi Indonesia dapat mengalami krisis seperti yang terjadi di Eropa dan Tiongkok.
Banyak pembangkit tenaga listrik kita yang masih berbahan bakar fosil. Sementara perubahan iklim juga dapat mengganggu pasokan air di bendungan-bendungan yang dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga air.
Kebijakan iklim Uni Eropa menghadapi tantangan berat. Ambisi Eropa untuk mewujudkan nol emisi pada 2050 diduga menjadi salah satu penyebab krisis energi saat ini. Pada 2035 Eropa tak membolehkan lagi penggunaan bahan bakar fosil. Bukan tanpa alasan karena dampak perubahan iklim telah sedemikian nyata.
Di tengah krisis pasokan energi Indonesia ada untung ruginya. Pendapatan negara naik karena Indonesia pengekspor batubara dan CPO (crude palm oil). Kebutuhan yang melonjak dan rantai pasok yang terganggu pembatasan terkait pengendalian pandemi mengakibatkan harga batubara naik.
Hal ini menunjukkan bahwa listrik masih banyak diproduksi dari pembangkit yang menggunakan energi fosil. Hal ini tentu menjadi perhatian semua pemangku kepentingan untuk mengantisipasinya dengan pengembangan teknologi pembangkit yang menggunakan sumber energi terbarukan.
Imbasnya pasokan global terganggu karena insdustri di Tiongkok mulai membatasi produksi akibat kekurangan pasokan listrik. Industri Tiongkok memasok pasar dunia. “Tiongkok harus mendapatkan lebih banyak pasokan batubara dari Rusia, Mongolia dan Indonesia," kata Gubernur Provinsi Jilin, Han Jun, Senin (27/9/2021).
Belahan bumi utara mulai memasuki musim dingin. Rumah tangga membutuhkan lebih banyak pasokan energi. Industri juga harus berproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar menjelang liburan Natal dan Tahun Baru. Banyak permintaan pasar tak dapat dipenuhi.
Dalam jangka pendek Indonesia mendapatkan keuntungan saat ini. Commodities Supercyle (supersiklus komoditas) karena pelonggaran aktivitas ekonomi pasca pembatasan. Supersiklus ini merupakan periode dimana harga-harga komoditas mengalami kenaikan dalam waktu panjang. Biasanya periode ini terjadi setelah krisis. Saat dotcom bubble tahun 2000 setelah itu harga komoditas naik.
Ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk menggerakkan produksi pada industri pengolahan yang memberi nilai tambah. Dunia sedang mengalami kekurangan pasokan barang. Ini menjadi kesempatan untuk memenuhi permintaan pasar global. Pendek kata ini menjadi momentum hilirisasi industri.
Dampak negatif dari krisis energi di Tiongkok jelas terasa. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar Rupiah justru ikut tertekan karena sentimen negatif pasar global. Apa yang terjadi di Tiongkok membuat sektor finansial dan sektor riil sama-sama terpukul.
Kerugian lain adalah Indonesia juga menjadi negara pengimpor energi. Termasuk mengimpor gas elpiji. Gasifikasi yang mengubah batubara menjadi gas belum berjalan dengan optimal. Ini mengakibatkan industri yang membutuhkan pasokan gas juga harus menguras kocek lebih dalam jika harga gas dunia naik.