Indef: Anggaran Perlindungan Sosial Harus Ditambah untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Pemerintah dapat merombak program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pencairannya masih macet dan konsepnya bermasalah. Hal itu harus dilakukan untuk memaksimalkan efektivitas belanja PEN Rp695 triliun yang masih rendah karena terdapat kesalahan konsep stimulus, misalnya pada program Kartu Pra Kerja.

MONITORDAY.COM - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta agar anggaran perlindungan sosial dapat ditambah agar semakin mendorong pertumbuhan ekonomi yang mulai mengalami perbaikan.
“Anggaran perlindungan sosial perlu ditambah dan diperluas bagi kelas menengah rentan miskin,” kata pengamat ekonomi Indef Bhima Yudhistira, Kamis (05/11).
Bhima menyatakan anggaran perlindungan sosial yang ada saat ini masih relatif kecil karena secara total berada di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Bhima menuturkan bentuk anggaran perlindungan sosial yang lebih efektif adalah cash transfer karena langsung dibelanjakan untuk konsumsi.
“Jangan mengulang kesalahan Kartu Pra Kerja dengan mekanisme yang berbelit-belit dan timpang secara akses digital,” ujarnya.
Selain itu, Bhima juga menyarankan agar pemerintah dapat merombak program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pencairannya masih macet dan konsepnya bermasalah. Hal itu harus dilakukan untuk memaksimalkan efektivitas belanja PEN Rp695 triliun yang masih rendah karena terdapat kesalahan konsep stimulus, misalnya pada program Kartu Pra Kerja.
“Sasarannya tidak fokus dan training secara online belum dibutuhkan dalam situasi masyarakat membutuhkan bantuan langsung,” katanya.
Kemudian, masalah lain dari PEN adalah program subsidi bunga yang serapannya relatif rendah karena terlalu mengandalkan jasa keuangan konvensional atau perbankan dalam penyelamatan UMKM.
“Harusnya mengandalkan koperasi atau pelaku keuangan mikro yang lebih memahami karakteristik debitur UMKM,” jelasnya.
Ia menegaskan berbagai perbaikan dalam program PEN harus segera dilakukan agar ekonomi Indonesia tidak mengalami depresi yang menyebabkan gelombang kebangkrutan massal perusahaan dalam negeri.
“PHK di berbagai sektor masih akan terjadi dan menyumbang angka pengangguran serta kenaikan jumlah orang miskin baru,” ujarnya.