ICMI Prihatin Atas Kemerosotan Kualitas Demokrasi di Pemilu 2019
Ketua umum Ikatan Cendekiawan Musim Se-Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie sampaikan prihatin atas perkembangan bangsa saat ini yang mengindikasikan kemerosotan kualitas demokrasi, sehingga menjadi kendala bagi berlangsungnya proses konsolidasi demokrasi.

MONITORDAY.COM – Ketua umum Ikatan Cendekiawan Musim Se-Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie sampaikan prihatin atas perkembangan bangsa saat ini yang mengindikasikan kemerosotan kualitas demokrasi, sehingga menjadi kendala bagi berlangsungnya proses konsolidasi demokrasi.
Yang kemudian hal ini dapat mengakibatkan rakyat tidak percaya bahwa demokrasi adalah cermin kedaulatan rakyat yang ideal untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama bernegara.
Jimly menilai proses Pemilu tahun ini ada yang merosot dan ada yang juga membaik. Misalnya, dari sisi partisipasi masyarakat dalam memilih tahun ini sangat baik, bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun kewalahan menangani itu.
Selain kondisi yang membaik terkait partisipasi masyarakat. Namun, menurut Jimly, Pemilu tahun ini terjadi kemerosot dari segi kualitas, performance. Jimly mencontohkan, dengan adanya adanya media sosial (Medsos), masyarakat menjadi mudah untuk saling menjelekan dan menjatuhkan satu dengan yang lainnya.
“kalau dulu itu tidak ada medsos. Sekarang ada medsos, saling menjelekan satu sama lain, sudah terlalu riskan. Itu juga yang menyebabkan saling tuding,” terang Jimly, di Kantor ICMI, Jakarta Selatan, Senin (22/04/2019).
Selain itu Jimly juga menyinggung adanya lembaga survey. Yang menurutnya, lembaga survey itu dibagi menjadi dua, ada lembaga survey independen yang sifatnya objektif ilmiah dan ada juga lembaga survey yang menjadi konsultan politik salah satu Paslon.
“Untuk kedepannya, ini harus dibedakan. Kode etik konsultan politik dan lembaga survei independen mesti dibedakan,” ucapnya.
Lebih lanjut Jimly menjelaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) memberi ruang bebas untuk kreatif ilmiah, tetapi bukan juga kebebasan mutlak, harus tunduk pada aturan. Buktinya, diatur dalam dua jam, agar tidak mengganggu pemungutan suara di daerah lain, daerah yang waktunya berbeda.
“Jadi itu yang bisa mengganggu demokrasi. Lembaga risetpun harus tau ada batasannya. Maka mereka tidak boleh terlibat menjadi memihak pada salah satu calon,” ujar Jimly.
Begitupun juga dengan adanya pengamat. Jimly mengatakan, pengamat-pengamat hari ini itu bisa kita bedakan, mana pengamat pihak 01 dan mana pengamat pihak 02.
“Jadi semua pengamat perguruan tinggipun memakai baju objektiifitas, tetapi mereka adalah pihak tanpa di sadari,” tutur Jimly.
“Nah inilah yang menjadikan kualitas demokrasi kita menjadi turun dalam komunikasi publik,” pungkasnya.