Hukum Minum Dengan Bejana Emas, Perak dan Kulit
WADAH atau bejana yang di dalamnya air dan benda lain dapat disimpan, baik terbuat dari besi, kayu, kulit ataupun yang lainnya.

WADAH atau bejana yang di dalamnya air dan benda lain dapat disimpan, baik terbuat dari besi, kayu, kulit ataupun yang lainnya. Hukum asalnya ialah boleh, maka diperbolehkan mempergunakan dan memakai semua bejana yang suci kecuali dua hal, yaitu bejana yang mengandung unsur emas atau perak, baik berupa polesan, hiasan, ataupun bentuk percampuran emas dan perak pada bejana, kecuali sedikit tambalan perak pada bejana di saat dibutuhkan untuk memperbaikinya.
Dalil pengharaman bejana emas dan perak yaitu sabda Nabi saw., yang artinya: Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah: “Di dalam hadits Ummu Salamah radliyallahu anha ini terdapat dalil bahwa makan dengan menggunakan bejana emas dan perak ialah termasuk dari dosa-dosa besar. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengancam perbuatan tersebut. Bahwa orang yang melakukannya maka akan bergolak di dalam perutnya itu api neraka Jahannam. ‘Jarjarah’ (bergolak) adalah bunyi makanan dan minuman yang jatuh melalu lubang tenggorokan. Jika seseorang makan atau minum dengan bejana emas dan perak maka akan bergolaklah api neraka Jahannam di dalam perutnya.
An Nawawiy rahimahullah berkata: Telah terjalin ijma akan haramnya makan dan minum padanya, dan seluruh macam penggunaan semakna dengan makan dan minum dengan ijma. Haramnya pemakaian dan penggunaan mencakup laki-laki dan perempuan berdasarkan umumnya hadis tersebut, dan tidak adanya dalil yang mengkhususkan, dan hanyalah perhiasan dibolehkan bagi wanita karena kebutuhan mereka untuk berhias bagi suaminya.
Kedua, Kulit bangkai, haram memakainya kecuali bila sudah disamak. Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mempergunakannya setelah disamak, dan pendapat yang benar adalah boleh, ini adalah pendapat jumhur ulama, karena adanya hadis shahihah yang membolehkan pemakaiannya setelah disamak, dan karena sifat najisnya itu adalah thariah (datang mendadak), sehingga bisa hilang dengan samak, sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya: “Disucikan dengan air dan qaradh (pohon yang kesat,Pent)" Dan sabdanya Nabi saw. yang artinya: "Penyamakan kulit ialah penyuciannya.”
Dan dibolehkan pakaian-pakaian orang kafir, bila tidak diketahui bahwa itu najis, karena hukum asalnya ialah suci, sehingga tidak hilang dengan keragu-raguan, dan dibolehkan kain-kain yang mereka tenun atau celup, karena Nabi saw. dan para sahabatnya memakai pakaian yang ditenun dan dicelup oleh orang-orang kafir.