Hijrah dari 3 Dosa Pendidikan di Indonesia
Nadiem mengakui sudah banyak aturan yang dikeluarkan merespons kejadian-kejadian itu.

MONDAYREVIEW.COM – Dalam sebuah wawancara di Cokro TV bersama Ade Armando, Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan dirinya akan menghabisi tiga dosa besar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tiga dosa besar tersebut adalah intoleransi, kekerasan seksual dan bullying atau perisakan. 3 Hal ini menjadi masalah pendidikan di Indonesia yang akan menghambat proses belajar dan mengajar anak didik. Tiga masalah ini juga bukan hanya isapan jempol semata, melainkan sesuatu yang nyata ditemui di beberapa lembaga pendidikan di Indonesia. Mari kita uraikan faktanya satu per satu.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta pada Desember 2016 merilis hasil riset yang menunjukkan, banyak guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di tingkat pendidikan dasar dan menengah cenderung berpaham eksklusif dan bersikap tak toleran terhadap kelompok yang berbeda paham dengan mereka, baik Islam maupun non-Islam. Mayoritas guru PAI tersebut menolak kepemimpinan non-muslim. Persentase penolakan mereka terhadap orang di luar Islam memegang jabatan publik sangat tinggi. Misalnya pada tingkatan kepala daerah sebesar 89 persen, kepala sekolah 87 persen, dan kepala dinas 80 persen. Mayoritas mereka (81 persen) juga tidak bersedia memberikan izin pendirian rumah ibadah agama lain di wilayahnya.
Data itu meskipun tidak bermaksud untuk mengeneralisir, tapi setidaknya mewakili pendapat publik di lokasi penelitian yaitu 11 kab/kota dari 5 provinsi: Aceh Besar, Pidie, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Solo, Mataram, Lombok Timur, Makassar, Maros dan Bulukumba. Jika guru-gurunya saja mempunyai pemahaman yang demikian, maka dapat dipastikan bahwa sikap intoleran dan paham radikalisme justru bersemai sejak dini, ketika anak-anak belajar di bangku sekolah. Kenyataan ini diperkuat dengan penelitian lain, misalnya dilakukan Balai Litbang Agama Makassar (BLAM) pada 2016. Menurut hasil riset ini, 10 % siswa SMA berpotensi radikal.
Sore hari, tanggal 13 Maret 2020, pembaca berita sebuah stasiun televisi menelepon secara live Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan Bungo Jambi. Ia berusaha mengonfirmasi berita kekerasan seksual pemerkosaan yang menimpa siswi kelas 2 SD oleh 4 kakak kelasnya. Peristiwa tersebut terjadi dalam lingkungan sekolah saat jam sekolah. Kepala Dinas Pendidikan menjawab dengan gelagapan. Ia bilang, peristiwa kekerasan seksual itu sebagai kenakalan siswa biasa. Saat pembaca berita menanyakan kondisi siswi yang menjadi korban, dengan sangat enteng Bapak Kepala Dinas menjawab bahwa kondisinya baik-baik saja, bahkan siswi sudah masuk sekolah seperti biasa.
Beberapa hari sebelumnya, di media sosial viral sebuah video pelecehan seksual kepada siswi SMA di Kabupaten Bolaang Mongondouw, Sulawesi Utara. Aksi pelecehan seksual tersebut dilakukan beramai-ramai oleh sekelompok siswa di dalam kelas dengan masih mengenakan seragam sekolah. Pihak sekolah, lagi-lagi mengatakan bahwa peristiwa itu kenakalan biasa. Video pelecehan seksual terhadap siswi SMA itu tersebar via medsos Twitter. Siswi SD perempuan korban pemerkosaan mengaku alat kelaminnya sakit dan takut berangkat ke sekolah sehingga ia melapor kepada ibunya. Korban video pelecehan seksual konon telah didampingi oleh lembaga perlindungan perempuan dan anak untuk pemulihan psikis pascatrauma.
Siswa salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pekanbaru, Riau berinisial FA mengalami patah tulang hidung. Menurut pengakuan FA, ia di-bully oleh teman-temannya di sekolah. Paman korban, Muchtar mengatakan, tak hanya di-bully, FA juga diancam dan diperas. Selain dibully hingga mengalami patah tulang hidung, korban juga dipaksa mengaku bahwa dirinya terjatuh. Kapolresta Pekanbaru AKBP Nandang Mu’min Wijaya mengemukakan, kasus bullying tersebut berawal dari bercanda. Peristiwa terjadi pada Selasa (5/11/2020) sekitar pukul 11.00 WIB. Pelaku memukul korban dengan kayu bingkai foto. Kemudian pelaku menarik kepala korban dan dibenturkan ke lutut hingga korban mengalami patah tulang. Tak terima, orangtua korban melaporkan kejadian itu pada polisi. Diketahui, pelaku perundungan yang menyebabkan korban mengalami patah tulang adalah dua orang rekan sekolahnya yang berinisial M dan R.
Seorang siswa SD Negeri di Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan berinisial RS mengalami depresi berat usai diduga menjadi korban perundungan oleh teman-temannya. Ironisnya, RS di-bully selama dua tahun atau sejak ia duduk di bangku kelas IV SD. Pribadi RS kemudian berubah. RS sering mengurung diri, takut bertemu dengan orang hingga tak mau lagi bersekolah. Keluarganya pun menghabiskan banyak dana untuk memeriksakan kondisi psikis anaknya. Padahal penghasilan mereka pas-pasan. Ayah RS bekerja sebagai buruh bangunan. Sedangkan ibunya seorang penjual kerupuk. Awal mula bullying terjadi gara-gara jam dinding. Saat duduk di kelas IV, RS bermain sepak bola di dalam kelas. Bola yang ditendang RS mengenai jam dinding hingga jatuh ke lantai. Namun saat dikonfirmasi, pihak sekolah membantah adanya bullying.
Merespon beragam kejadian terkait dosa besar pendidikan tersebut, Nadiem mengakui sudah banyak aturan yang dikeluarkan merespons kejadian-kejadian itu. Namun ia merasa peraturan yang ada tidak dijalankan secara efektif sehingga belum menuai hasil maksimal. Mantan Bos Gojek itu menyatakan tidak bisa menghapus tiga dosa itu sendirian karena wewenang Mendikbud terbatas. Dia berharap ada kekompakan antarlembaga negara dalam mengatasi tiga masalah tersebut. Nadiem berjanji bakal mencari cara untuk menyetop ketiga dosa tadi terulang lagi. Namun ia meminta waktu untuk bisa melakukannya.