Hidayah Tidak Datang Dua Kali

Hidayah Tidak Datang Dua Kali
madaninews.com

MONITORDAY.COM - Banyak orang mengaku termasuk saya bahwa berislam dan beriman itu bagian dari kenikmatan hidup.  Makna kalimat islam tidak lain memang menuntun manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Islam sudah mengatur standar hidup sehingga para pemeluknya tidak lagi bingung menentukan jalan hidup. Hanya tinggal mengikuti alurnya saja.

Beruntungnya kita berislam sejak lahir, bahkan saat masih dalam kandungan kita tak luput dari kasih sayang Allah berupa hidayah ‘beragama islam’ yang dititipkan kepada orangtua kita. Karena ada orang yang bertemu hidayah saat dia dewasa, ada pula yang bertemu hidayah beberapa menit menjelang kematiannya.

Kata hidayah berasal dari bahasa arab yang sudah menjadi bahasa indonesia. Artinya petunjuk atau bimbingan dari Tuhan. Secara terminologi, hidayah adalah penjelasan dan petunjuk jalan yang akan menuntun seseorang kepada tujuan sampai meraih kemenangan di sisi Allah SWT.

Hidayah merupakan satu-satunya jembatan kita untuk menemui kebahagiaan dunia dan akhirat. Ada dua kemungkinan jika kita menyebranginya, menyebrang dengan selamat atau jatuh ke dalam jurang. Tentunya kita ingin selamat, bukan? Untuk selamat kita harus memegang erat pagar penahan jembatan.

Jembatan juga tidak selamanya kokoh, ada masanya ia rapuh entah diserang hujan atau dibakar panas matahari. Hendaknya kita memelihara jembatan tersebut dengan mengganti beberapa bagian atau reparasi lainnya.

Begitupun hidayah. Sebagai satu-satunya jalan petunjuk untuk bahagia, hidayah harus dipelihara, karena tidak selamanya akan kokoh. Allah menyumpahi bahwa hati manusia bolak-balik, tidak kokoh. Kita tidak tahu apa yang terjadi jika hidayah itu hilang. Bisakah kita menyebrang dengan selamat? Bisakah kita bahagia sampai akhirat? Belum tentu, bisa jadi hidayah hanya datang sekali.

Ada sebuah kisah tentang seseorang yang menyesal karena kehilangan hidayah. Dikutip dari kisahmuslim.com, dari riwayat Ibnu Asakir: Suatu ketika Rasulullah SAW mengirim surat kepada penguasa Kerajaan Ghassan yang bernama Jabalah bin al-Iham (al-Ayham). Isi surat tersebut tak lain untuk mendakwahkan Islam kepada Jabalah.

Jabalah menyambut seruan Rasulullah itu dan memeluk Islam. Ia membalas surat Rasulullah dengan sebuah pernyataan atas keislamannya. Ia juga membawakan hadiah untuk Rasulullah sebagai tanda hormat. Dan Jabalah pun hidup sebagai seorang muslim yang menjalani keislamannya.

Waktu berlalu, Jabalah masih setia dengan ikrar keIslamannya. Hingga terjadilah sesuatu yang mengubah hidupnya. Tatkala ia sedang berada di Pasar Damaskus, seorang laki-laki Badui dari Muzainah menginjak jubah mewahnya. Spontan Raja Ghassan itu menempeleng laki-laki Badui.

Kemudian si Badui mengadu kepada Abu Ubaidah bin Jarrah. Dan ditetapkanlah qisas untuk Jabalah, dibalas tempeleng oleh si Badui. Jabalah lalu berkata, “Tidakkah kau lihat, wajahku ini sebanding dengan wajah kakekku.” Maksudnya, dia keturunan ningrat.

“Sungguh agama ini keterlaluan jeleknya,” dengan sombong Jabalah mencela Islam. Akhirnya ia murtad dan berpindah agama menjadi Nasrani. Kemudian lari bersama sekelompok pengikutnya menuju daerah Romawi.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Jabalah masuk islam pada masa Khalifah Umar bin Khathab. Ketika jubahnya terinjak seorang Badui dan ia mendapat qisas. Ia berkata seperti ini “Bagaimana aku bisa kena qisas? Aku ini seorang raja sementara dia hanya orang pasar?” Lalu Khalifah Umar menanggapinya, “Islam menjadikan kalian berdua setara (di mata hukum).”

Jabalah menimpal, “Aku menyangka setelah memeluk Islam aku lebih mulia dibanding di masa jahiliyah.” Umar menjawab, “Tinggalkan itu semua. Itu tidak bermanfaat sama sekali. Bayar tebusan atau engkau dihukum setimpal.” Ia terus berdebat dengan Umar hingga Umar mengancam akan memenggal lehernya dan Jabalah memutuskan pergi bersama bangsa romawi kemudian masuk agama Nasrani.

Di akhir hayatnya, ia menggubah sebuah syair tentang penyesalannya karena murtad.

Aku menjadi Nasrani karena malu dengan tamparan,

padahal balasan itu tidak bahaya jika aku bersabar.

Aduh celaka, sekiranya ibuku tidak melahirkan,

Aduh celaka, andai saja aku tunduk dengan perkataan Umar,

Aduh celaka,  coba kutahan sakitnya rasa melahirkan,

atau menjadi tawanan di Rabiah atau Mudhar.

Aduh celaka sekiranya aku tetap di Syam (Ghassan)

walaupun rendah kehidupan bersama kaumku.

Itulah Jabalah bin Al-Iham, pernah berjumpa dengan hidayah islam, tapi ia meninggal dalam keadaan menyesal sebagai pemeluk agama Nasrani.

Hidayah mungkin tidak akan datang dua kali. Maka dari itu, peliharalah hidayah. Peluk erat sampai berjumpa dengan Allah. Istiqomahlah. Biarpun pernah mengalami titik nol kehidupan, jangan pernah sekalipun terpikir untuk meninggalkan Allah dan Islam. Sebab hanya Allah yang mampu memberi kenikmatan dalam hidup kita. Tak ada jalan lain menjemput bahagia akhirat kecuali menjalani hidayah atas kehendak Allah.