Hasil Riset: Diperlukan Roadmap Pembangunan Kesehatan Pesantren

MONITORDAY.COM - PPIM UIN Jakarta paparkan hasil risetnya secara daring tentang pondok pesantren dan covid-19 pada Rabu (19/22). Menurut hasil riset, secara umum, masyarakat pesantren sudah memiliki pengetahuan yang cukup terkait pandemi COVID19, namun masih ada beberapa hal yang menunjukkan kurangnya pengetahuan mereka terutama terkait wawasan baru terkait COVID-19, misalnya 52,1% tidak yakin rokok membuat seseorang lebih rentan terinfeksi COVID-19 dan 61,7% tidak yakin SARS-CoV2 varian delta lebih menular dari pada varian virus corona lainnya.
Selain itu, masyarakat pesantren masih megalami kesulitan dalam menerapkan protokol kesehatan khususnya dalam aturan jaga jarak. Adapun terkait sikap, masih terdapat pesantren yang menutupi kasus COVID-19 yang terjadi di pesantrennya dan menyetujui kunjungan orang tua santri yang berasal dari luar lingkungan Pesantren. Selanjutnya, terkait status vaksinasi, 70,5% responden telah mendapat vaksinasi. Namun, berdasarkan responden yang belum vaksin, sebanyak 36% mengaku raguragu dan tidak berminat mengikuti vaksinasi. Keluarga yang tidak setuju vaksinasi COVID-19, tidak yakin efektivitas vaksin, takut akan jarum suntik serta tidak percaya vaksin COVID-19 menjadi hal yang melatarbelakangi kondisi tersebut.
Dari hasil penelitian ini pun diketahui bahwa terdapat 5% orang yang menolak vaksin karena alasan agama. Isu yang juga berkembang di pesantren selama krisis pandemi adalah isu kesehatan mental. Studi ini mengukur Kesehatan mental guru dan santri dengan menggunakan instrumen PHQ-9 dimana ditemukan sebagian responden santri mengalami depresi ringan hingga agak berat.
Gejala-gejala yang dialami, antara lain sulit tidur (17%), sulit berkonsentrasi (13,9%), kurang nafsu makan atau terlalu banyak makan (13,3%), kurang percaya diri atau merasa sebagai manusia gagal (10,7%) dan memiliki keinginan bunuh diri (3%). Hasil dari analisa menunjukkan secara signifikan terdapat perbedaan dimana santri lebih mengalami gejalaa depresi dibanding guru, begitupun dengan perempuan yang lebih mengalami gejala depresi dibanding laki-lai, dan santri yang melakukan pembelajaran daring yang lebih memiliki gejala depresi daripada pembelajaran luring.
Dalam hal keagamaan, santri menyadari COVID-19 berbahaya sehingga tidak mengadakan kegiatan keagamaan yang berkerumun. Akan tetapi dalam pemahaman terkait fikih wabah masih ada (49,7%) responden yang meyakini bahwa penanganan jenazah dengan protokol COVID-19 tidak sesuai syariat Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa pesantren sebagai tempat mendalami ilmu keagamaan ternyata masih belum tuntas dalam pemahaman fikih ketika terjadi pandemi. Pada aspek religiusitas, Keimanan dan Ketakwaan kepada Allah swt mengalami peningkatan (85,3%) selama pandemi.
Peningkatan keimanan dan ketakwaan tersebut dapat mendatangkan rasa aman, tenang, dan bahagia. Perilaku pencegahan masyarakat pesantren pun berkaitan dengan tingkat kepercayaan terhadap konspirasi dan kepercayaan terhadap pemerintah dan institusi politik (political trust). Dalam hal kepercayaan terhadap pemerintah dan institusi politik, masyarakat Pesantren memiliki kepercayaan yang rendah terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (33,4%) dan Partai Politik (27,5%). Sebagai akibat dari adanya ketidakpercayaan terhadap pemerintah, sebanyak 24,4% responden meyakini bahwa sistem demokrasi tidak bisa mengatasi krisis pandemi COVID-19 sehingga lebih baik diganti dengan sistem khilafah. Adapun sebanyak 64,8% responden menilai bahwa kesulitan Indonesia menghadapi pandemi COVID-19 disebabkan oleh sistem dan pemimpin yang tidak kompeten.
Penelitian ini juga melihat peran nyai atau pemimpin perempuan di pesantren saat krisis pandemi COVID-19. Diketahui bahwa di mayoritas pesantren terjadi transformasi sosial nyai yang terlihat dari peningkatan tingkat pendidikan nyai dan nyai mulai menempati peran-peran strategis. Meskipun tingkat pendidikan nyai sudah cukup tinggi, namun struktur di pesantren masih didominasi laki-laki dan nyai kurang memiliki otoritas dalam keagamaan. Peran nyai di masa pandemi, antara lain aktivitas mothering, promosi kesehatan, meluruskan isu konspirasi, dan membangun jaringan. Dari keseluruhan penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pesantren, antara lain kepemimpinan yang terbuka, demokratis dan responsif, jaringan atau kemitraan yang luas, sumber daya yang memadai, dan tata kelola yang profesional, serta peran nyai dan pemimpin perempuan yang menguat.
Berdasarkan pemaparan terkait kerentanan dan ketahanan pesantren di masa pandemi, terdapat beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan oleh segenap instansi pemerintah, di antaranya perlu adanya roadmap kebijakan komprehensif dan aplikatif dalam pembangunan kesehatan pesantren untuk menangkal ancaman kesehatan, perluasan akses pesantren dalam peningkatan sarana/prasana/sumber daya baik kesehatan dan pendidikan, peningkatan digital literasi baik guru dan santri, terkait pemanfaatan teknologi, misinformasi, disinformasi, perlu pemberian beasiswa bagi nyai dan guru perempuan untuk dapat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi agar mereka memiliki kepercayaan diri dan mampu melakukan daya tawar dengan kiai dan para pengambil kebijakan lainnya, perlu membuat kebijakan dan mekanisme untuk mendorong pesantren membuka ruang partisipasi perempuan yang lebih besar dalam pengambilan kebijakan, perlu secara kontinu melakukan penguatan sensitivitas gender bagi kiai/ketua yayasan dan nyai agar mereka lebih open minded dan perempuan memiliki kemampuan bargaining power yang lebih baik.