Hakim Agung Sebut Penanganan Kasus Mafia Tanah Harus Bersikap Afirmatif

MONITORDAY.COM - Dalam menangani kasus mafia tanah, hakim harus bersikap afirmatif guna memberi peluang kesetaraan hak seluas-luasnya untuk mencapai keadilan.
Demikian pernyataan itu disampaikan Hakim Agung, Pri Pambudi Teguh dalam seminar nasional bertajuk “Peran Komisi Yudisial dalam Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan” yang disiarkan melalui Channel YouTube Komisi Yudisial, Kamis (7/10/2021).
“Terutama, terkait kasus pertanahan yang benar-benar menjadi sengketa di peradilan. Pada umumnya, dalam praktik, berhadapan di antara yang kuat dan lemah,” kata Pri Pambudi.
Ia pun menegaskan, secara umum, MA memang tidak memberikan regulasi tertentu terkait sengketa tanah, hal itu tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Itu pun Perma diterbitkan sebagai amanah dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan,” ujar Pri Pambudi.
Menurut dia, berdasarkan pengalaman MA, peraturan tersebutlah yang dipedomani, sehingga akan mudah membaca keberadaan mafia tanah.
“Secara umum yang dipedomani oleh hakim adalah apa yang menjadi kaidah hukumnya, apa yang menjadi kasusnya, matching atau tidak kalau diterapkan.” imbuh Pri Pambudi.
Pri Pambudi pun mencontohkan, misalnya Perkara Nomor 3070 K/Pdt/2021 29 Oktober 2019. Dalam perkara tersebut, tergugat merupakan Perhimpunan Pendidikan dan Pengajaran Kristen Pertus Surabaya yang telah menjual tanah seluas 2464 m2 kepada Setyowati Soetanto.
Dari tahun 1948, tanah tersebut telah dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, yaitu gedung SDN Ketabang I dan menjadi Barang Milik Daerah Kota Surabaya Nomor 2348808 dan 2351955.
Kemudian pada tahun 2012, muncul Sertifikat Hak Guna Bangun (SHGB) Nomor 63 yang sebetulnya telah berakhir pada 19 Agustus di tahun yang sama.
“Itu (putusan akhir tentang pemilik sertifikat) bisa dipindahtangankan kepada tergugat, Setyowati Soetanto. Begitu ketahuan ini pasti mafia, kita batalkan, menjadi aset milik Pemda,” tutur Pri Pambudi.
Sementara pembatalan itu didasari oleh penemuan kejanggalan-kejanggalan sejak awal pembacaan berkas perkara. Dalam hal ini, MA memang akan melihat posisi kasus sebelum sampai ke bukti-bukti. Pada kasus sengketa tersebut, ditemukan kejanggalan karena secara tiba-tiba terbit sertifikat yang jelas menunjukkan keterlibatan mafia.
Pri Pambudi berharap, putusan yang mengambil sikap afirmatif itu dapat menghasilkan keadilan kepada pihak yang berhak. Meski harusnya secara hukum pemilik sertifikat apalagi telah ada pembalikan nama secara sah merupakan pemenang perkara, penemuan kejanggalan dapat menjadi pertimbangan hukum.