Guncangan Politik di Negeri Gajah Putih
Massa meminta agar perdana menteri mundur juga agar dilakukan reformasi terhadap kekuasaan raja.

MONDAYREVIEW.COM – Thailand sebuah negeri yang dikenal dengan pariwisatanya kembali diguncang prahara politik. Rakyat melakukan unjuk rasa menuntut adanya suksesi kepemimpinan terhadap rezim yang berkuasa. Massa meminta agar perdana menteri mundur juga agar dilakukan reformasi terhadap kekuasaan raja. Aksi unjuk rasa anti pemerintah ini ditandingi oleh unjuk rasa pro pemerintah, dimana massa mendukung kekuasaan raja Thailand. Massa pro dan anti pemerintah hampir bertemu dan bentrok sebelum ditertibkan oleh aparat keamanan.
Pemerintah Thailand menerjunkan polisi untuk membubarkan pengunjuk rasa. Pemerintah menangkap 20 orang terkait protes. Mereka harus menghadapi prosedur hukum atas aksinya. Sementara itu, aktivis pro demokrasi telah berulang kali meneriakkan keinginan agar monarki beradaptasi dengan zaman modern. Termasuk penghapusan undang-undang pencemaran nama baik kerajaan- yang melindungi raja dari kritik- dan agar raja tidak terlibat dalam politik.
Raja Thailand akhirnya “turun gunung” Ia mengunjungi ribuan pendukungnya dan berbaur dengan mereka, Minggu (1/11/2020) malam waktu setempat. Ini terjadi saat dirinya melakukan upacara keagamaan di Grand Palace. Kerumunan pemujanya menunggu berjam-jam di tembok putih kompleks istana untuk menyambutnya seraya membawa potret raja dan Ratu Suthida sambil mengibarkan bendera nasional. Menanggapi masifnya demonstrasi, raja menyatakan akan melakukan kompromi. Namun tidak spesifik kompromi seperti apa.
Adapun sejak aksi massa dimulai, pihak istana secara resmi belum mengeluarkan pernyataan apapun terkait tuntutan mundurnya perdana menteri dan reformasi sistem monarki. Hal ini membuat massa aksi skeptic dan ragu bahwa tuntutan mereka akan dikabulkan. Menurut mereka apa yang dinyatakan oleh raja hanyalah dusta belaka.
Thailand sendiri merupakan negeri yang membuat para peneliti ilmu politik geleng-geleng kepala. Dilansir dari tirto.id, negara gajah putih tersebut sering sekali terjadi kudeta militer walaupun kondisi negaranya baik-baik saja. Revolusi Siam 1932 adalah titik balik dalam sejarah Thailand ketika kelompok kecil perwira militer yang dikenal sebagai “Four Musketeers” menggulingkan Raja Prajadhipok. Itu mengakhiri hampir tujuh abad kekuasaan monarki absolut. Revolusi tersebut menandakan berdirinya monarki konstitusional dan Thailand menyusun konstitusi baru sebagai sebuah negara modern.
Berselang 14 tahun, Laksamana Muda Thawan Thamrongnawasawat yang menjadi PM Thailand ke-8 dikudeta militer oleh Jenderal Besar Phin Choonhavan pada 1947. Thawan dituduh terlibat skandal korup. Phin hanya memimpin Thailand dua hari dan menyerahkan kursi Perdana Menteri kepada Khuang Aphaiwonh, pendiri Partai Demokrat. Sebagai gantinya, peran militer menguat dalam politik Thailand era itu.
Ketika Raja Bhumibol Adulyadej berada di Lausanne, Swiss pada 1951, sekelompok militer melakukan kudeta dengan cara membubarkan parlemen dan mengembalikan konstitusi tahun 1932. Tujuannya, untuk mendepak peran sipil di lingkungan pemerintahan yang oleh para perwira militer dianggap sebagai gangguan. Kudeta militer kembali terjadi pada 1976. Militer Thailand mengkudeta Perdana Menteri Seni Pramoj. Laksamana Sangad Chaloryu menyatakan dirinya bertanggung jawab atas kudeta tersebut dan membentuk Dewan Reformasi Administratif Nasional memberlakukan darurat militer sebelum akhirnya kursi Perdana Menteri diserahkan kepada Thanin Kraivichien yang berlatar hakim.
Kudeta militer terakhir sebelum 2014 terjadi pada 2006 di era Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Merespons krisis politik setahun belakangan dan tuduhan korupsi, angkatan bersenjata turun tangan dengan mencabut konstitusi, membubarkan pemerintahan Thaksin Shinawatra dan menjanjikan reformasi politik. Ketika kudeta berlangsung, Thaksin dan beberapa menteri lainnya sedang berada di New York. Para pemimpin kudeta dilaporkan dekat dengan Raja Bhumibol, dan banyak tentara mengenakan pita kuning mengacu pada keluarga kerajaan.