Golput, Partisipasi Pemilih, dan Kapitalisme Diskon
Demokrasi membuka ruang sebesar-besarnya dalam memilih

MONITORDAY – Demokrasi membuka ruang sebesar-besarnya dalam memilih. Termasuk memilih untuk tidak memilih. Amerika Serikat misalnya, dalam pemilihan presiden yang dimenangkan Donald Trump ditandai dengan 50% pemilih yang tidak memilih. Macam-macam alasan untuk tidak memilih, diantaranya karena kandidat tidak representatif, kendala adminstratif bagi pemilih, hingga suatu gerakan perlawanan.
Di masa Orde Baru, gerakan perlawanan muncul dalam istilah ‘golongan putih (golput)’. Golput dipilih karena pemenang pemilu sudah dapat diprediksi semenjak sebelum pemilu. Jarak partai penguasa begitu jauh dengan 2 partai lainnya. Maka golput merupakan gerakan perlawanan serta sebentuk protes. Pemerintah sendiri tidak tinggal diam, dan melakukan mobilisasi massa untuk memilih. Golput dicap sebagai pembangkangan dan stigma negatif lainnya. Tak mengherankan jika pemilu di masa Orde Baru angka partisipasinya berada pada kisaran 90%.
Era reformasi memberi ruang pada pilihan terbuka. Alhasil pilihan untuk tidak memilih pun terjadi. Maka tak mengherankan jika Komisi Pemilihan Umum mentargetkan partisipasi pemilih di kisaran 70%. Antipati terhadap politik, kandidat yang dianggap tidak mewakili, kendala administratif, diperhitungkan dalam variabel ketidakikutsertaan dalam pemilu.
Pilkada serentak yang dihelat hari ini (15/2) sementara itu bertemu dengan logika kapitalisme diskon. Diskon dalam berbagai bentuk membahana. Ada dengan potongan Rp 15.000, nama-nama yang sama dengan kandidat di pilkada, ataupun potongan harga tertentu. Pendek kata sejumlah perusahaan berusaha menangkap momentum pilkada serentak untuk mengerek keuntungan di hari pemilihan.
Pertanyaannya sejauh mana kapitalisme diskon tersebut berkorelasi positif dengan partisipasi pemilih? Akankah mereka yang semula berpikir golput akan tergoda memilih dengan aneka diskon yang berjejeran? Angka partisipasi pemilih pada pilkada serentak 15 Februari 2017 ini akan menarik adanya jika dihubungkan dengan kapitalisme diskon. Tentu butuh kajian khusus dalam menghubungkan variabel ini.