Gelombang Mudik Perparah Penyebaran Covid-19
Peran pemerintah dalam melakukan pengawasan sangat penting untuk mengontrol penyebaran Covid-19.

MONITORDAY.COM - Tradisi mudik yang terjadi jelang dan di akhir Ramadhan berpotensi membuat penyelesaian pandemi virus corona semakin sulit. Hal ini disampaikan oleh dr Aqsha Azhary Nur dalam thalksow yang diselenggarakan oleh The Indonesia Initiative (TIDI) pada Kamis, (9/4) melalui aplikasi Zoom.
Mahasiswa pasca sarjana John Hopkins School of Public Health, Amerika Serikat itu juga mengungkapkan bahwa risiko besar akan diderita oleh pemerintah daerah dengan adanya arus mudik ini.
“Ada 27,5 juta lansia, lebih dari 60% memiliki hipertensi, dan segala potensi kerentanan COVİD-19 sangat potensi terkena gangguan pernapasan. Akan ada 2,5 juta kasus kalau tidak ada intervensi sangat kuat, termasuk pembatalan kegiatan momen mudik,” ujar Aqsha.
Selain itu, Ia juga mengatakan, Jika terjadi mudik, maka dikhawatirkan infrastruktur kesehatan di daerah tidak cukup kuat untuk menangangi pasien corona.
“Di seluruh Indonesia hanya tersedia 8.413 ventilator yang tersebar di 2.867 rumah sakit. Kondisi di Jakarta saja dokter sudah meraung-raung karena keterbatasan fasilitas. Apalagi kalau di daerah. Sedangkan bantuan untuk mengatasi covid-19 ini mayoritas sudah diturunkan ke DKI,” tambahnya.
Ia menyayangkan pemerintah pusat yang kurang bertindak tegas untuk mencegah tersebarnya wabah. Dia berharap pemerintah daerah dapat mengambil tindakan antisipasi lebih guna mengatasi permasalahan ini.
Pada kesempatan yang sama, analis psikologi sosial TIDI, Irfan Aulia menekankan perlunya peran dari jejaring informal guna menghambat keinginan orang untuk mudik.
“Mudik perlu dilihat sebagai sebuah fenomena sosial dan psikologis. Orang Indonesia pada dasarnya punya keterikatan dengan tanah, tanah ekonomi tempat merantau dan tanah air atau kampung halaman," tutur dia.
Irfan memberi contoh penerapan jejaring informal. Misalnya jika orang tua di kampung halaman yang mengatakan agar jangan mudik kepada yang berada di perantauan, maka hal ini lebih didengar dibandingkan himbauan pemerintah.
Ia juga menekankan bahwa pemerintah harus masuk pada aturan terkait perilaku, bukan hanya norma agar himbauan dapat berjalan efektif.
"Misalkan, secara spesifik mengatakan bahwa jangan berkumpul lebih dari lima orang, tidak boleh keluar rumah kecuali untuk hal yang darurat," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Herika Muhammad Taki, menekankan peran pemerintah dalam melakukan pengawasan sangat penting untuk mengontrol penyebaran Covid-19.
Doktor Urban and Regional Planning lulusan King Abdulaziz University ini membandingkan upaya pengawasan di luar negeri yang jauh lebih ketat dibandingkan di Indonesia.
"Pemakaian aplikasi gawai di luar negeri sebagai contoh memang dimaksimalkan untuk melakukan pengawasan. Warga yang kedapatan keluar rumah akan segera dihubungi petugas agar mau kembali ke rumah. Sementara di Indonesia aplikasi sejenis hanya menjadi gimmick,” tegasnya.