Dunia Pendidikan dalam Cengkeraman Konglomerasi
Tidak ada yang salah dengan keterlibatan konglomerasi dalam dunia pendidikan. Dengan pendanaan yang sangat besar, diharapkan yayasan-yayasan di bawah konglomerasi bisa menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas.

MONDAYREVIEW.COM – Hibah program organisasi penggerak Kemdikbud RI terus menggelinding menjadi bola panas. Setelah Muhammadiyah dan NU, giliran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menyatakan mundur dari program ini. Beredar pula jejak digital Mendikbud Nadiem Makarim yang menyatakan bahwa dia tidak tahu masa lalu, yang dia tahu adalah masa depan.
Pernyataan Nadiem ini merupakan penegasan bahwa dia akan membawa pendidikan di Indonesia ke masa depan. Namun muncul kritik bahwa Nadiem tidak boleh melupakan jasa-jasa para pendahulu yang telah memajukan pendidikan Indonesia selama ini. Pernyataan Mas Menteri dinilai kurang menghargai sejarah memajukan pendidikan di Indonesia yang telah diukir oleh organisasi seperti Muhammadiyah, NU dan PGRI.
Sebagai seorang yang pernah menjadi CEO start up unicorn, kita memahami bahwa Mas Menteri pasti dekat dengan pengusaha dan konglomerat di Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa pejabat Kemdikbud dan staf khusus yang berasal dari lembaga pendidikan di bawah konglomerasi. Sudah jamak juga bahwa konglomerasi di Indonesia turut berpartisipasi menggarap dunia pendidikan. Yayasan Sampoerna dan Yayasan Tanoto yang menerima hibah merupakan salah satu contohnya.
Selain itu banyak lagi konglomerasi yang berkiprah di dunia pendidikan. Misalnya Abu Rizal Bakrie membuat Universitas Bakrie. Hari Tanoe Soedibyo membuat MNC College. PT. Djarum memberikan beasiswa kepada mahasiswa. Turut sertanya konglomerasi dalam dunia pendidikan merupakan hal yang sangat rasional. Salah satu tujuannya adalah mencetak sumber daya manusia yang handal guna direkrut untuk operasional karyawan mereka.
Selain itu, program pendidikan yang dijalankan oleh konglomerasi merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR).Tentu saja bagi pebisnis, tak ada makan siang gratis. Aktifitas pendidikan yang dilakukan oleh konglomerasi sekaligus menjadi sarana promosi perusahaan tersebut. Perusahaan diharapkan bisa naik citranya dengan masuk ke dalam dunia pendidikan.
Tidak ada yang salah dengan keterlibatan konglomerasi dalam dunia pendidikan. Dengan pendanaan yang sangat besar, diharapkan yayasan-yayasan di bawah konglomerasi bisa menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas. Harapan lainnya adalah sebagian laba korporasi dialokasikan untuk memberikan beasiswa bagi anak-anak bangsa yang berpotensi memajukan bangsa di masa depan.
Yang perlu menjadi catatan adalah, bahwa hubungan antara konglomerasi dengan pemerintah haruslah bersifat kemitraan. Konglomerasi dan pemerintah dalam hal ini Kemdikbud harus setara, berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Bahkan konglomerasi harus tunduk dengan aturan yang ditetapkan pemerintah. Jangan sampai justru pemerintah yang terkooptasi oleh kepentingan konglomerasi, kemudian pendidikan diarahkan untuk kepentingan konglomerasi, ini sudah tidak sehat.
Menanggapi berbagai pemberitaan yang beredar, Tanoto Foundation menyampaikan klarifikasi bahwa mereka tidak menerima dana hibah dari Kemdikbud. Mereka menggunakan dana sendiri untuk program organisasi penggerak, hanya saja mereka turut bergabung dalam program Kemdikbud. Jika klarifikasi tersebut benar, maka kita patut bersyukur bahwa konglomerasi masih punya marwah untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Tidak mengambil dana hibah, namun malah memberikan hibah.
Kisruh Program Organisasi Penggerak menjadi lampu kuning bagi Mas Menteri apakah beliau mengayomi semua pihak atau lebih cenderung berpihak kepada koleganya dari kalangan konglomerasi. Sudah muncul suara-suara sumbang terkait keberpihakan mas menteri. Viral tagar #mundurajalah di twitter sebagai ekspresi kekecewaan sebagian kalangan terhadap kinerja Mendikbud Nadiem Makarim. Yang perlu diingat oleh Mendikbud adalah mengurus instansi pemerintah tidak semudah mengurus perusahaan start up unicorn. Mas Menteri harus belelajar mendengarkan pendapat semua pihak dan tidak mengayominya. Tidak hanya mengayomi para konglomerat yang mungkn sudah lama dikenalnya.