Dua Jenis Ulama Menurut Imam Al Ghazali

MONITORDAY.COM - Imam Al Ghazali (wafat 1111 M.) adalah sosok ulama besar yang digelari Hujjatul Islam. Gelar tersebut diberikan mengingat keberadaan beliau yang menjadi hujjah kokoh bagi eksistensi ilmu-ilmu agama Islam. Dimana pada masa Al Ghazali hidup, ilmu filsafat dan sains berkembang pesat namun ilmu agama banyak ditinggalkan.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin yang menjadi magnum opus atau karya besarnya, Imam Al Ghazali membagi ulama menjadi dua jenis: pertama adalah ulama akhirat dan kedua adalah ulama dunia. Ulama akhirat disebut juga ulama haq. Sedangkan ulama dunia disebut juga dengan ulama suu'. Al Ghazali mendasari pembagian ulama ini dengan dalil-dalil dari Al Qur'an dan Hadits.
Imam Al Ghazali mengutip hadits riwayat Imam Ad Darimi: “Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama.” Seorang ulama pada dasarnya adalah kedudukan yang mulia. Namun kemuliaan itu bisa jadi bumerang manakala seseorang menyalahgunakan status keulamaannya.
Menurut Al Ghazali, ciri-ciri dari ulama akhirat adalah “Istiqomah aqidah, ibadah, akhlak dan dakwahnya, takutnya hanya pada Allah” (QS Al Anbiya 28).
“Senangnya berjamaah ke masjid, lembut tutur katanya, bicaranya hikmah yang mengajak hijrah menuju Allah, tegas menyampaikan yang haq, tampak sekali kerendahan hatinya, wajahnya murah senyum bercahaya, ikhlasnya mengajar tanpa minta upah apalagi bertarif. Ikutilah mereka yang berdakwah yang tidak minta upah, merekalah hamba-hamba Allah yang mendapat hidayah Allah” (QS Yasin 21).
Menerima upah dari berdakwah juga tidak apa-apa asalkan tidak meminta-minta bayaran (pasang tarif). Rasulullah bersabda : Dari Ibnu as Sa’idy al Maliki, bahwasanya ia berkata:
“Umar bin Khattab ra mempekerjakanku untuk mengumpulkan sedekah. Tatkala selesai dan telah aku serahkan kepadanya, ia memerintahkan aku untuk mengambil upah.” Lalu aku berkata: ”Aku bekerja hanya karena Allah, dan imbalanku dari Allah.”
Lalu ia berkata: “Ambillah yang telah aku berikan kepadamu. Sesungguhnya aku bekerja di masa Rasulullah saw dan mengatakan seperti apa yang engkau katakan. Lalu Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Jika aku memberikan sesuatu yang tidak engkau pinta, makanlah dan sedekahkanlah.” (HR. Muslim).
“Tsiqoh” kuat menjaga janji, “wara” sangat takut dan berhati-hati dengan Hukum Allah.
Siang malam memikirkan umatnya, umatnyapun selalu ia sertakan dalam doanya terutama setiap tahajjudnya di penghujung malamnya, iapun sibuk berikhtiar untuk keberkahan keluarga dan dakwahnya, keluarganyapun sakinah dan uswah hasanah, kuatnya silaturrahmi.
Penghormatan pada perbedaan pendapat, memaafkan pada mereka yang menyakitinya, jauh dari sifat dengki bahkan ia senang untuk selalu belajar, mengaji dan berguru lagi (QS Ali Imran 79).
Dakwahnya selalu berisi seruan untuk meraih kehidupan akhirat, tidak membicarakan bagaimana mendapatkan kesejahteraan dunia, sederhana dan menjaga jarak dengan penguasa.
Sebaliknya, ciri ulama akhirat menurut Al Ghazali adalah selalu menginginkan kekayaan (hidupnya bermewah-mewah) dan kehormatan duniawi. Celakanya, mereka tidak segan-segan berkhianat pada hati nurani, asalkan tujuan mereka tercapai.
Dalam kenyataannya, ulama tersebut bergaul bebas dengan raja-raja dan pegawai pemerintah, penguasa, serta memberikan sokongan moral terhadap tindakan mereka, tak peduli baik atau buruk.
Terkait dengan ulama su’, ada ilustrasi menarik yang dipaparkan Ibnu Mas’ud :
“Kelak akan datang suatu masa tatkala hati manusia asin ; ilmu tidak bermanfaat lagi. Saat itu, hati ulama laksana tanah gundul dan berlapiskan garam. Meski disiram hujan, namun tidak setets pun air tawar nan segar dapat diminum dari tanah itu.”
Dalam dakwahnya mereka membicarakan tentang meraih kesejahteraan dan kebahagiaan dunia bukan bagaimana caranya meraih kesejahteraan di akhirat. Berdakwah jika hanya ada upahnya. Kalau tidak ada upah enggan untuk berdakwah. Agar terhindar dari hasutan ulama’ Su’ hendaknya kita senantiasa berdoa dan belajar Islam kepada para Ulama’ Akhirat dengan ciri-ciri di atas.