DPR Pertanyakan Soal Kucurkan Dana 405,1 Triliun Untuk Penanganan Covid-19
Apakah dari penyisiran anggaran, relokasi anggaran, pinjaman ataukah dari menjual SBN ? Hingga kini pemerintah belum menjelaskannya.

MONITORDAY. COM - Pemerintah menyiapkan kucuran dana Rp405,1 triliun untuk dana kesehatan Rp75 triliun, Jaring Pengaman Sosial Rp110 triliun, Insentif perpajakan dan stimulus KUR Rp70,1 triliun, dan pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun untuk percepatan penanganan virus Corona (Covid-19).
Anggota DPR Fraksi Gerindra, Heri Gunawan mempertanyakan sumber anggaran sebesar Rp405,1 triliun tersebut. Menurutnya, sampai saat ini pemerintah belum menjelaskan persoalan anggaran tersebut.
“Apakah dari penyisiran anggaran, relokasi anggaran, pinjaman ataukah dari menjual SBN ? Hingga kini pemerintah belum menjelaskannya,” kata Heri dalam keterangannya, Kamis (02/04/2020).
Heri menambahkan, agar memastikan bahwa program ini akan berjalan sesuai harapan, maka harus dilakukan pengawasan yang tepat, guna anggaran ini sasaran dan tepat waktu.
Lebih lanjut, Heri mengatakan pemerintah akan memanfaatkan dana dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), dana abadi, dana Badan Layanan Umum (BLU), hingga dana yang berasal dari pengurangan penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN.
“Berdasarkan catatan terakhir, SAL yang dimiliki pemerintah mencapai Rp160 triliun. Sementara sumber-sumber lain sedang dihitung oleh pemerintah,” ucapnya.
Selain itu, Heri mengatakan sumber pendaan lain pemerintah akan meminta Bank Indonesia (BI) untuk membeli SBN di pasar perdana. Menurutnya, ketentuan tersebut dilarang oleh Undang-Undang (UU) BI.
Namun, berdasarkan Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, hal tersebut diperbolehkan.
“Aturan yang membolehkan BI bisa membeli SBN di Pasar Primer sejatinya sangat membahayakan. Selama ini BI hanya diperbolehkan membeli SBN di pasar sekunder,” jelasnya.
Menurut Heri, Perppu 1/2020 bisa saja disalahgunakan sebagaimana kasus BLBI saat krisis ekonomi 1997/1998. Saat itu uang BI dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush, tapi nyatanya hanya modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar guna menyelamatkan grup usahanya.
“Saat ini pun bisa saja modus serupa terulang kembali melalui pembiayaan defisit fiscal dan pembelian obligasi bank-bank swasta atau pemerintah. Oleh karena itu diperlukan aturan yang jelas dan tegas tentang masa berlakunya Perppu tersebut dan tentang status Perppu tersebut apakah bersifat permanen ataukah untuk darurat Covid-19 saja,” tuturnya.
Kemudian, Heri juga menegaskan Perppu No.1/2020 perlu diwaspadai, karena pada Pasal 27 ayat 1, 2, dan 3 bisa dimanfaatkan oleh penumpang gelap untuk membobol uang negara tanpa bisa dijerat oleh hukum. Ayat 1 menjelaskan segala uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara.
“Ayat dua menjelaskan semua pejabat keuangan memiliki kekebalan hukum. Dan ayat tiga menjelaskan semua kebijakan keuangan yang dikeluarkan berdasarkan Perppu Nomor 1/2020 bukan merupakan obyek gugatan di PTUN,” pungkasnya.