Di Balik Film S.O.B aka  Penumpasan Pengkhianatan G-30-S/ PKI

Di Balik Film S.O.B aka  Penumpasan Pengkhianatan G-30-S/ PKI
tangkapan layar film G 30 S PKI/ Youtube

MONITORDAY.COM -Film Penumpasan Pengkhianatan G-30-S/ PKI ditayangkan di layar lebar sejak 1984 dan secara rutin diputar di layar kaca setiap tanggal 30 September hingga tahun 1997. Naskahnya diadaptasi dari buku yang ditulis Noegroho Notosoesanto yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru. 

Sebagian orang meyakini bahwa film itu semula berjudul Sejarah Orde Baru. Dengan beberapa alasan akhirnya berubah. Dalam cuitannya pada (23/9/2021) Dewi Irawan melampirkan skenario atau skrip dengan judul SOB yang masih melekat di sampulnya. Besar kemungkinan naskah itu diperoleh Dewi dari arsip mendiang Ade Irawan yang menjadi salah satu pemeran dalam film tersebut.  

Ada sumber yang mengatakan bahwa judul berubah karena pernah ada film Sejarah Orde Baru, jadi harus mencari judul lain. Ada lagi yang mengatakan bahwa skenarionya memang dipangkas karena terlalu panjang hingga fokus pada peristiwa G-30-S/ PKI saja. Sementara Jajang C. Noer sebagai janda Arifien C Noer mengklaim bahwa SOB merupakan singkatan dari Staats van Oorlog en Beleg atau negara dalam keadaan genting.    

Film yang menelan biaya Rp 800 juta itu menjadi salah satu film termahal pada masanya. Pada tahun 1982 saat film itu diproduksi kurs USD 1 masih sekira Rp 700. Sementara harga emas masih berada di kisaran Rp 12.000. Pendek kata angka tersebut setara puluhan milyar Rupiah jika dikonversi dengan kondisi hari ini. Soal apakah film itu menggunakan APBN atau tidak masih menjadi perdebatan. Yang jelas PPFN adalah salah satu BUMN.   

Meski dituduh sebagai propaganda, film ini diarahkan dan diperankan oleh para sineas handal. Sutradara Arifin C Noer yang menggarap film ini adalah seorang tokoh Teater dan sineas piawai. Menurut wikipedia di Bengkel Teater bentukan W.S. Rendra ia menulis dan menyutradarai lakon-lakonnya sendiri, seperti Kapai Kapai, Tengul, Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang dan Sandek Pemuda Pekerja. Kemudian saat kuliah, ia bergabung dengan Teater Muslim yang dipimpin Mohammad Diponegoro. Ia kemudian hijrah ke Jakarta dan mendirikan Teater Kecil pada tahun 1968. Tahun 1972-1973 ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa, Amerika Serikat.

Sederet pemeran adalah figur beken. Diantaranya Amoroso Katamsi (Mayjen Soeharto). Umar Kayam (Presiden Sukarno), Syubah Asa (DN Aidit), Bram Adrianto (Kolonel Untung), Rudy Sukma (AH Nasution), dan Ade Irawan (Ny AH Nasution). Amoroso, Kayam, dan Syu’bah Asa sudah wafat. 

Amoroso adalah seorang dokter AL yang juga aktor handal. Hingga usia senjanya Amoroso masih bermain di beberapa judul film dan sinetron. Amoroso bukan aktor karbitan, sejak muda ia aktif di teater. Perannya sebagai Pak Harto melekat kuat di benak generasi delapanpuluhan dan sembilanpuluhan. Namun ia tidak terjebak dalam karakter itu, Amoroso juga sukses memainkan banyak peran di kemudian hari. 

Sementara Umar Kayam yang memerankan Bung Karno merupakan sosok yang sangat berjasa dalam dunia pendidikan dan kebudayaan. Guru Besar UGM ini beken karena tulisannya yang khas di koran daerah Kedaulatan Rakyat. Kumpulan Tulisannya antara lain terangkum dalam buku berjudul “Mangan Ora Mangan Kumpul’. Ia memerankan BK dengan segenap kharisma sebagai Pemimpin Besar Revolusi di ujung kekuasaaanya. 

Yang tak kalah menarik adalah Syu’bah Asa. Ia seorang jurnalis kawakan yang lama menggawangi rubrik Agama dan Budaya di Majalah Berita Mingguan Tempo. Latar belakang Syu’bah adalah seorang santri, fasih membaca kitab kuning, pernah kuliah di UIN (dulu IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan budayawan yang kaya dengan wawasan keislaman dan kebudayaan. Tak aneh bila Syu’bah pernah memimpin majalah Panjimas.    

Dalam suatu kesempatan Syu’bah menyampaikan bahwa ia tidak puas dengan perannya sebagai D.N Aidit. Ia merasa kurang maksimal untuk menampilkan tokoh partai berlambang Palu Arit itu. Dari berbagai sumber publik dapat membaca bahwa D.N Aidit sebenarnya juga berasal dari keluarga muslim yang taat. Syu’bah menghembuskan nafas terakhir sebelum menyelesaikan buku Tafsir Al Qur’an yang diimpikannya.   

Peran Gufron Dwipayana sebagai Direktur Utama Perum Pusat Produksi Film Negara (PPFN) juga sangat penting dalam produksi film ini. Jenderal bintang satu ini juga menjabat asisten III Mensesneg. Namanya selalu muncul di credit title film boneka Si Unyil sebagai Pakde Dipo. Tokoh ini tak begitu populer seperti Sudjono Humardani atau Ali Moertopo, namun peran dan jejaknya tak dapat diabaikan begitu saja. 

Kini polemik masih saja muncul setelah 4 dekade film ini dirilis. Dan kritik film serta kritik sejarah menjadi layak bahkan penting untuk dikedepankan. Data dan fakta menjadi rujukan. Sebagaimana banyak buku dengan beragam perspektif yang muncul terkait peristiwa kelabu yang dikatakan Bung Karno sebagai  “Een rimpel in de oceaan” (buih di tengah samudera).