Corona Mewabah, Ekonomi Goyah

Wabah corona terus berjangkit, tapi bukan berarti kita diam menjerit. Terus berusaha, karena harapan selalu saja ada.

Corona Mewabah, Ekonomi Goyah
Ilustrasi foto/Net

TERUS BERJANGKIT, wabah virus corona di Indonesia membuat pemerintah memperpanjang status tanggap darurat hingga akhir Mei 2020. Semula, edaran agar aktivitas belajar, bekerja dan beribadah dari rumah ditetapkan hingga akhir Maret, tapi harus diperpanjang karena proses penyebaran virus malah kian meluas hingga ke semua propinsi di Indonesia.

Akibatnya, banyak daerah pun turut mengajukan aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bagi kotanya masing-masing. Beberapa gubernur juga sudah menghimbau agar warganya tidak mudik pada saat lebaran kalau sayang kepada keluarganya di kampung.

Dalam sebulan terakhir, lonjakan jumlah penderita yang terdeteksi dengan fatality rate yang lebih tinggi dibanding negara-negara lain, dinilai sangat mengkhawatirkan.

Laman penyedia data penelitian dan think-tank indevenden, CORE mencatat respons pemerintah dan masyarakat yang melakukan upaya pencegahan, seperti penutupan sekolah, work from home khususnya pekerja sektor formal, penundaan dan pembatalan berbagai event-event pemerintah dan swasta, membuat roda perputaran ekonomi melambat. Konsumsi swasta, yang menyumbang hampir 60 persen pergerakan ekonomi nasional, dipastikan akan kontraksi. Penjualan ritel, baik di pasar tradisional dan pasar modern juga dipastikan turun.

Ekonomi yang Goyah

Bekerja dari rumah (work from home) sejatinya efektif hanya bagi para para pekerja stuktural yang bisa dikerjakan dimana saja. Tapi bagi para pekerja sektot riil industri maka bekerja dar rumah adalah musibah terbesar. Bekerja dari rumah adalah kata halus dari dirumahkan sementara. Karena bagaimana mungkin mesin-mesin pabrik yang biasa mereka gunakan bisa dibawa ke rumah.

Begitu pula bagi para pedagang dan pengusaha kecil, omset sudah pasti turun mungkin masih mending. Ada begitu banyak pedagang dan pengusaha kecil yang malah harus menurutp usahanya.

Belum lagi cerita pilu dari para tukang ojek online, selain sudah tak lagi bisa mengandalkan usahanya tersebut, mereka juga tak bisa pulang. Jangankan untuk mengirim uang ke kampung halaman, untuk makan saja sulitnya minta ampun.

Sebelum corona, program mudik gratis seolah jadi energi tambahan. Tapi gegara corona, itupun ditiadakan. Jadi wajar saja, jika para pengangguran baru ini memaksa mudik dengan cara apa pun. Masuk dalam truk pasir, truk molen, atau bahkan jalan kaki sekali pun.

Sektor pariwisata juga kena imbas corona. Daerah-daerah yang selama ini menjadi tujuan utama para wisatawan seperti Bali dan Lombok mendadak sepi. Bagi para pengusaha, sebulan dua bulan relakasi mungkin tak jadi soal. Tapi bagaimana dengan para pekerjanya?

Perlu diketahui, jika selama ini wisatawan yang datang ke Indonesia didominasi oleh warga negara asal Malaysia sebanyak 206 ribu orang atau 16,2 persen, asal China menempati urutan kedua yaitu sebanyak 181,3 ribu orang atau 14,3 persen, disusul Singapura sebanyak 138,6 ribu orang atau 10,9 persen, Australia 117,3 juta orang atau 9,2 persen dan Timor Leste sebanyak 110,4 ribu orang atau 8,7 persen. Sisanya berasal dari berbagai negara sebanyak 528 ribu orang atau 40,7 persen.

Kini, negara-negara penyumbang wisatawan tersebut ikut lumpuh dan bahkan menjadi negara dengan kasus pasien Covid-19 tertinggi bagi di Asia Tenggara maupun Asia. Sudah tentu, akibatnya wisatawan dari negara mereka pun lenyap dengan sekejap.

Pandemi Covid-19 memang membuat semua negara jadi limbung, ekonomi nyaris lumpuh. Termasuk di negara-negara yang selama ini memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi seperti di negara-negara Eropa dan Amerika. Akibat kebijakan lockdown, ekonomi mereka juga nyaris lumpuh.

Ditambah lagi, meningkatnya kekhawatiran investor terhadap ketidakpastian ekonomi akibat Covid-19. Ini tercermin dari indeks pasar modal di berbagai belahan dunia yang turun tajam. Per 26 Maret 2020 saja, beberapa indeks pasar saham utama turun lebih dari 20 persen secara year to date (ytd). Dow Jones terkoreksi 20,98 persen, Nasdaq turun 13,10 persen, FTSE 100 turun 22,89 persen, Nikkei turun 21,10 persen dan S&P Asia turun 16,17 persen.

 

Investasi Lesu

Meluasnya kekhawatiran masyarakat dan investor terhadap Covid-19, menyebabkan minat investasi juga akan turun signifikan. Sehingga, pertumbuhan investasi baru akan melambat. Proyek-proyek investasi yang dikelola pemerintah dan BUMN akan tetap berlangsung, meskipun akan turun sejalan imbauan social distancing bagi para pekerja. Impor barang modal yang menjadi salah satu leading indicators Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) pada bulan Januari dan Februari 2020 sudah mengalami kontraksi 10,6 persen (yoy).

Satu-satunya yang berpotensi menopang ekonomi domestik tahun ini adalah belanja pemerintah. Penanganan Covid-19 mengharuskan pemerintah all-out menyediakan berbagai paket kebijakan baik untuk mengobati pasien Covid-19 (kuratif) dan mencegah eskalasi penyebaran virus tersebut (preventif).

Bank Indonesia sebetulnya telah mengeluarkan beberapa kebijakan guna meredam dampak kepanikan masyarakat untuk para investor dengan menurunkan suku bunga (BI 7-Day Reserve Repo rate) hingga 50 bps selama 2020 ini menjadi 4,5 persen melonggarkan giro wajib minimum, dan melakukan intervensi pasar valas untuk meredakan pelemahan rupiah.

Meski begitu, prospek pertumbuhan ekonomi tahun ini dipastikan akan jauh lebih rendah dari tahun lalu. Kecuali jika pemerintah melakukan langkah-langkah yang lebih ‘ketat’ untuk menekan penularan wabah ini, sebagaimana yang dilakukan China. Paling tidak, puncak tekanan ekonomi akan terjadi pada kuartal kedua, dan setelahnya (kuartal ketiga dan keempat) akan masuk masa pemulihan.

Seperti diungkapkan Presiden Jokowi,  bahwa wabah virus corona memang sangat berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Bukan hanya produksi barang saja yang terganggu tapi investasi pun menjadi terhambat.

Peneliti INDEF sekaigus pengurus Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, Fadhil Hasan menyebut anggaran untuk penanganan virus corona sebesar Rp 62,3 triliun yang disiapkan pemerintah sebetulnya terlalu kecil. Apalagi jika dibandingkan dengan yang dikeluarkan pemerintah Malaysia senilai 250 miliar ringgit atau setara Rp 925 triliun (kurs Rp 3.701 per ringgit).

Mestinya, Pemerintah Indonesia bisa mengguyur stimulus hingga Rp 1.000 triliun untuk menghasilkan outcome ekonomi yang positif, baik bagi dunia usaha maupun masyarakat.

"Saya memperkirakan stimulus yang dibutuhkan dan mau signifikan ke perekonomian, atau bisa menghasilkan outcome yang baik, pada kisaran Rp 600 triliun sampai Rp 1.000 triliun,” kata Fadhil.

Selama ini, kita tahu betul jika ada fakta bahwa di hampir semua krisis ekonomi, para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seringkali lebih mampu bertahan. Tapi kali ini UMKM juga tak bisa apa-apa. Seolah-olah tangan dan kaki mereka diikat, jangankan untuk mengulurkan tangan, untuk membuka ikatannya saja belum tentu bisa.

Semoga saja, ungkapan para bijak bestari dan begawan sejarah benar adanya, bahwa ‘harapan memang selalu ada di tengah masa sulit.’

Saat ini selain terus berusaha, yang perlu kita lakukan mungkin adalah mulai mengencangkan ikat pinggang dalam tempo 1 tahun ke depan. Buat cash flow dapat bertahan dan jangan melakukan ekspansi sebelum keadaan stabil dan pertumbuhan ekonomi bangkit kembali. Perkuat modal sendiri, usahakan jangan berutang supaya ketahanan usaha bisa bertahan di situasi yang sulit.

Untuk para pekerja atau karyawan carilah alternatif pekerjaan lain jika suatu saat pekerjaan tempat kerja mengalami kesulitan yang berujung kepada pengurangan tenaga kerja, hemat dan perhitungkan pengeluaran keuangan keluarga.

Wallau’alam bil showab