Cawapres 2019: Menimbang Elektabilitas, Keterwakilan Wilayah dan Latar Belakang

Politik representatif dianggap masih penting dalam menentukan Cawapres 2019. Keterwakilan tidak hanya bersifat simbolik dan emosional, namun juga harapan pemilih kepada komitmen sang kandidat mengacu pada basis representasinya. Saat kontestasi makin hangat, kejar-mengejar elektabilitas dan popularitas antar kandidat menguat, maka kandidat orang kedua semakin menarik diwacanakan.

Cawapres 2019: Menimbang Elektabilitas, Keterwakilan Wilayah dan Latar Belakang
source : cnnindonesia.com

MONDAYREVIEW.COM, Jakarta - Pemilihan umum 2019 semakin dekat. Berbagai pihak baik individu, organisasi maupun lembaga survei mulai memunculkan nama-nama. Selain calon presiden, yang juga menarik diulas yakni calon wakil presiden.

 

Peran RI-2, julukan untuk Wakil Presiden, bukan lagi sekedar ban serep. Seringkali menjadi pendongkrak suara sang RI-1 yang sangat signifikan di setiap momentum Pemilu. Terkait hal itu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA telah merilis hasil survei terbaru yang salah satunya memunculkan nama-nama yang masuk dalam radar calon wakil presiden potensial.

 

Sedikitnya ada lima jenis bursa Cawapres di Pilpres 2019 nanti menurut LSI Denny JA. Kelima jenis tersebut antara Iain Cawapres berlatar belakang Islam, militer, partai politik, profesional dan gubernur provinsi strategis.

 

Dari bursa Cawapres berlatar belakang Islam, ada dua nama yang punya peluang dibanding tokoh yang lain. Kedua nama tersebut adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin lskandar (Cak Imin) dan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), TGH Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB).

 

Cak Imin memiliki popularitas sebesar 32,4 %. Bahkan ia kini sudah mulai aktif melakukan sosialisasi sebagai Cawapres. Sementara TGB popularitasnya sebesar 13,9 %. Meskipun masih rendah, TGB kerap dipersepsikan sebagai gubernur muslim yang sukses membangun daerahnya di NTB.

 

Untuk Cawapres berlatar belakang militer, terdapat tiga nama yang paling potensial. Ketiga nama tersebut antara lain Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan

popularitas sebesar 71,2 % serta dua mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo dengan popularitas sebesar 56,5 % dan Moeldoko dengan popularitas 18,0 %.

 

LSI Denny JA menilai meskipun popularitas Moeldoko masih rendah, namun dengan dirinya masuk dalam kabinet Jokowi membuka peluang Moeldoko untuk menjadi Cawapres.

 

Dari bursa Cawapres berlatar belakang partai politik, ada dua nama yang mungkin muncul. Yaitu Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto dan Kepala BIN, Budi Gunawan. Budi adalah tokoh yang dikenal dekat dengan PDlP.

PDIP dan Golkar dianggap punya kekuatan

 

bargaining lebih besar dibanding partai lain.

 

Bursa Cawapres profesional menyumbang paling banyak nama, yakni empat nama yang berpeluang. Dua nama berasal dari dalam kabinet kerja Jokowi, yaitu Susi Pudjiastuti dan Sri Muiyani. Lalu dua tokoh pungusaha yang dinilai mewakili wilayah barat dan timur, yaitu pemilik CT. Corp, Chairul Tanjung serta

pemilik Bosowa Corp, Aksa Mahmud yang juga ipar dari Wakil Presiden Jusuf Kalla.

 

Kemudian, bursa Cawapres yang berasal dari provinsi strategis yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hanya Anies Baswedan yang sementara ini muncul dari klasifikasi ini, lantaran ketiga daerah lainnya baru akan melakukan pemiiihan kepala daerah Juni 2018 nanti.

 

Keempat daerah ini disebut strategis karena selain memiliki populasi pemilih terbesar, juga daya tarik media yang besar. Kepala daerah terpilih di keempat wiiayah ini punya peluang dikenal secara nasional karena ekspose media nasional yang masif.

 

Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby meyakini di 2019 politik representatif masih penting. Hal itu berangkat dari Pilpres sebelumnya, dimana JK sebagai representatif masyarakat Indonesia bagian timur sangat membantu menyumbang suara Jokowi yang kemudian terpilih.

 

"Di Pilpres 2014 kemarin, dengan masuknya Jusuf Kalla sangat membantu keterpilihan Jokowi di Indonesia Timur," katanya di Kantor LSI, Graha Rajawali Dua, Rawamangun, Jakarta Timur, Jumat (2/2/2018).

 

Namun, hal itu menurutnya juga sangat dinamis, tergantung siapa lawan Jokowi nanti yang tentu akan mempengaruhi penentuan Cawapres. Selain elektabilitas, keterwakilan wilayah dan latar belakang juga akan menjadi pertimbangan kriteria Cawapres di 2019. (YTY)