Calon Tunggal Panglima TNI dan Isu Profesionalisme

Calon Tunggal Panglima TNI dan Isu Profesionalisme
Jenderal TNI Andika Perkasa/ net

MONITORDAY.COM - Teka-teki itu terjawab sudah. Surat Presiden terkait calon tunggal Panglima TNI sudah diserahkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno kepada Puan Maharani sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada (3/11/2021) kemarin. Dalam urusan seperti ini lazimnya DPR tinggal ketok palu. 

Jenderal Andika Perkasa dan Laksamana Yudo Margono adalah dua kader bangsa terbaik. Terpilihnya Andika yang akan pensiun tahun depan tidak menutup kemungkinan bagi Yudo untuk memberikan bakti terbaiknya bagi negara kelak. Pertimbangan profesionalisme semestinya menjadi prioritas dalam penunjukan ini. Demi kepentingan bangsa dan negara yang menghadapi tantangan besar di tengah konsolidasi demokrasi.  

Penunjukan sebagai Panglima TNI tidak pernah steril dari isu-isu politik. Agenda Pemilihan Umum 2024 menjadi salah satu pijakan analisis para pengamat terkait figur Panglima dan kepentingan TNI dalam perpolitikan nasional. Meski tentara telah melakukan reformasi yang sangat mendasar namun sejumlah fihak menilai selalu ada upaya untuk menarik mereka keluar dari barak. 

Di masa Orde Baru peran tentara tak lepas dari doktrin Dwifungsi ABRI.  Pada masa orde baru peran sosial politik TNI terutama Angkatan Darat tumbuh dan berkembang dan menjadi motor penggerak pembangunan. Hal ini dilakukan dengan cara menyusun kekuatan bangsa dan negara untuk mencapai stabilitas nasional dan upaya mendukung pertumbuhan ekonomi. Payung hukumnya jelas, Undang-undang No. 22 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara. 

Dengan ikut sertanya TNI dalam memikul tanggung jawab sosial dan politik baik pada tingkat suprastruktur maupun infrastruktur TNI pun menempatkan dirinya sebagai dinamisator dan stabilisator.(Muhadjir Effendi; 2008)

Istilah yang digunakan saat itu adalah tugas-tugas kekaryaan TNI. Anggota TNI banyak yang menempati jabatan di lembaga-lembaga, badan-badan, dan organisasi-organisasi di luar jajaran TNI. 

Kelebihan tentara adalah kejujuran dan loyalitasnya pada negara. Kelemahannya dalam keahlian dan sikap-sikap yang diperlukan dalam sebuah masyarakat yang sedang melaksanakan modernisasi. Menurut Yahya Muhaimin untuk mengatasi kelemahan itu militer harus bekerjasama dengan kaum teknokrat dan intelektual sekuler.

Sejumlah tantangan yang dihadapi Panglima TNI antara lain adalah pengembangan organisasi, kompetensi prajurit, modernisasi sistem pertahanan, isu lingkungan strategis, kesejahteraan prajurit, sinergitas hubungan antar lembaga dengan Polri terkait permasalahan keamanan dalam negeri. hubungan baik dan pengembangan interoperabilitas dari ketiga matra, dan masalah penumpukan perwira. 

Soal kesejahteraan prajurit dan penumpukan perwira bukan tidak mungkin menyeret kembali para serdadu ke kancah perebutan jabatan sipil. Pengembangan organisasi dan personil yang mumpuni dan profesional akan berhadapan dengan kendala anggaran dan godaaan politik. 

Dilema ini dapat dijelaskan dengan merujuk pada dua pendapat tentang profesionalisme militer. Ada dua pendapat berbeda terkait profesionalisme militer. Antara Huntington dan E.S. Finner.  Menurut Huntington profesionalisme militer bisa dilihat dari tiga ciri yaitu expertise, social responsibility, dan corporateness, termasuk dua variabel kunci profesi militer yaitu kontrol dan keterampilan. 

Sementara Finner punya bukti bahwa banyak perwira militer profesional terlibat dalam urusan politik, misalnya di Jerman dan Jepang. Tingkat profesionalisme militer di kedua negara tersebut tidak diragukan lagi. 

Dalam bukunya yang berjudul Political Order Inventing Society, Huntington pun memperbaiki teorinya.  Menurutnya intervensi militer dalam politik dapat dilakukan bila terjadi politisasi kekuatan sosial karena adanya partai politik yang lembaga sehingga menimbulkan instabilitas dan pembusukan politik. Sampai di sini, peran masyarakat sipil dan partai politik menjadi variabel penting.