Budaya Politik Jokowi Dinilai Cerminkan Sosok Soekarno

Sastrawan dan tokoh milenilan Heru Joni Putra menilai, budaya politik yang dibawa oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan tehadap sosok sang Proklamator RI Ir. Soekarno. Ia mengatakan, pada diri Presiden RI ke-7 itu kembali muncul ingatan tentang Soekarno sebagai juru bicara wong cilik.

Budaya Politik Jokowi Dinilai Cerminkan Sosok Soekarno
Foto: Istimewa

MONITORDAY.COM - Sastrawan dan tokoh milenial Heru Joni Putra menilai, budaya politik yang dibawa oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan tehadap sosok sang Proklamator RI Ir. Soekarno. Ia mengatakan, pada diri Presiden RI ke-7 itu kembali muncul ingatan tentang Soekarno sebagai juru bicara wong cilik.

“Terpilihnya Jokowi Widodo menjadi Presiden RI ke-7 tahun 2014. Tentu, sebelum itu, banyak kader PDIP yang muncul sebagai juru bicara wong cilik, tapi lewat sosok Joko Widodo, ingatan tentang Soekarno yang pernah kuat sebelum Orde Baru, kembali muncul dan kali ini tak tanggung-tanggung: lewat simbol negara. Ini menjadi suatu energi untuk membangkitkan representasi Soekarno oleh berbagai kepala daerah tingkat I ataupun II” tutur Heru, dalam opininya di Kumparan, (2/11).

Heru mengungkapkan, bahwa Joko Widodo tentu bukan Soekarno dan Soekarno bukan Joko Widodo. Tapi, budaya politik yang dijalan oleh Joko Widodo semenjak dua periode menjabat Walikota Solo sampai hampir selesai satu periode menjadi Presiden RI, menjadi pemicu bangkitnya ingatan kolektif tentang Soekarno. Citra Soekarno pada PDIP kemudian tak bisa lagi direduksi sebatas artikulasi Soekarnoisme lewat program utama PDIP (seperti program untuk nelayan, petani, buruh, dst) atau mungkin sosok Megawati Soekarno Putri belaka.

“Pada Joko Widodo, memori tentang Soekarno tak hanya muncul dari sebatas faktor latar belakang partainya itu. Melainkan tak kalah kuat dalam bentuk aksi blusukan, seperangkat pakaian yang sederhana untuk ukuran seorang Presiden, bahasa tubuh yang sangat dekat dengan rakyat kelas bawah dan jauh dari kesan sangar militer ala Soeharto” ungkap Heru.

Selain itu, menurut Heru, pilihan untuk berkubang bersama rakyat dalam berbagai pertemuan, memilih menghadirkan makanan khas Indonesia di dalam hidangan-hidangan resmi negara, membolehkan pedagang tepi jalan berjualan di halaman Istana Merdeka, dan membiarkan para petani yang masih lusuh pulang bekerja masuk ke dalam Istana tanpa mengikuti tata-aturan pakaian resmi.

"Di hadapan anak-anak SD, Soekarno dan Joko Widodo sama-sama berlaku sebagai ayah yang menyenangkan. Dan seterusnya. Lewat jalan budaya politik seperti itu, Joko Widodo tampak berbanding terbalik dengan citra pejabat ala Orde Baru yang ramah di hadapan masyarakat tetapi sebenarnya terdapat jarak yang lebar," tambahnya.

Menurut Heru, masih banyak contoh lelaku politik Jokowi yang bisa ditambahkan. Paling tidak, menurutnya, apa dijalankan Jokowi tersebut menjadi ikat-simpul bagi ingatan kolektif masyarakat tentang Soekarno yang sempat putus selama tiga dekade Orde Baru.

Meski begitu, kata Heru, tidak semua representasi Soekarno merupa dalam tindakan Joko Widodo. Salah satu hal yang identik dengan Soekarno dan tidak ada pada Joko Widodo: pidato yang berapi-api dan penuh seruan. 

"Apakah itu membuat ingatan kolektif tentang Soekarno jadi lenyap tiba-tiba dari sosok Joko Widodo? Tidak. Meneruskan Soekarno tentu bukan dengan cara meniru mentah-mentah. Apalagi hanya sekedar meniru gaya pakaiannya," sambungnya.

Heru melanjutkan, bahwa memang banyak sekali perbedaan di antara keduanya. "Soekarno, dengan alasan yang politis, pernah menolak rock and roll. Tapi, Jokowi tentu tidak melihat itu sebagai hal krusial, baik dalam perjuangan Soekarno ataupun dalam konteks politik hari ini," ungkapnya.

"Soekarno punya beberapa istri dan bukan itu yang menjadi acuan Joko Widodo dalam membangun kharismanya. Ia lebih memilih cara yang lain: menjadi ayah yang tidak membiarkan anak-anak “membuat negara” dalam Istana. Soekarno mempunyai jasa dalam membangun berbagai ruang publik di “pusat” negara. Dan Jokowi memilih tonggaknya melalui pembangunan infrastruktur di berbagai “pinggiran” negeri," tambah Heru.

Lebih lanjut Ia mengungkapkan, bahwa perjuangan melawan ingatan negatif yang ditanamkan Orde Baru terhadap Soekarno, dengan begitu, bukanlah perjuangan mengimitasi Soekarno. 

"Joko Widodo bukanlah peserta lomba mirip Soekarno. Tentu, Soekarno bukan malaikat. Ada yang tak perlu dilanjutkan darinya, tapi itu bukan berarti sekumpulan jasanya terhadap negeri ini mesti dilupakan sebagaimana yang dilakukan Soeharto. Perjuangan membangkitkan ingatan tentang Soekarno, pada gilirannya, tak bisa dilepaskan dari memilih bagian-bagian terbaik dari perjalanan hidupnya," terangnya.

Terakhir, Heru mengungkapkan, bahwa ada begitu banyak yang bisa diambil dari Soekarno dan kita di zaman ini tak ada hambatan untuk mereproduksi dan menjadikannya sebagai bagian dari kontestasi politik. 

"PDIP, lewat Joko Widodo, tampak berusaha menghadirkan ingatan atas Soekarno yang “berkeringat bersama rakyat”. Dalam sisi ingatan kolektif, budaya politik Joko Widodo turut menjadi pengampu ingatan kolektif terhadap Soekarno. Representasi Soekarno dalam PDIP tak lagi di sekitar tubuh partai, tetapi terus menyebar ke tubuh negara," pungkasnya.