BPJS Tekor, Aturan Pencairan JHT Tuai Kontroversi

Pandemi Covid-19 berkelindan dengan efek-efeknya bagi ekonomi dan kehidupan sosial. Akibat yang paling kentara dari menyebarnya virus Covid-19 ini adalah menciptakan situasi pelik yang berlanjut ke fase buruk resesi ekonomi dan peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Meskipun sudah melewati fase buruk itu, Indonesia masih merasakan residu resesi. Ini ditandai dengan melesetnya angka pertumbuhan yang diramalkan Kementerian Keuangan antara 3,7% - 4%, yang tumbuh hanya 3,69% saja di tahun 2021.
Dampak paling terasa dari pandemi ini selain dari sisi kesehatan, adalah peningkatan angka pengangguran, sepanjang periode pandemi, PHK meningkat 15,22%. Imbasnya, klaim pencairan Dana Jaminan Hari Tua juga meningkat signifikan.
Dari publikasi laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan tahun 2020, tercatat selama masa pandemi Covid-19, terjadi peningkatan beban klaim dan menyedot arus kas sepanjang tahun 2020 sebesar 226,37% lebih tinggi dari 2019.
Inilah pangkalnya, akar permasalahan perubahan aturan baru soal Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun. Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah yang menerbitkan aturan inipun lantas kelimpahan banjir protes dan kecaman buruh terkait Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Sebelumnya, aturan yang diteken pada 2 Februari 2022 itu sudah diwacanakan pemerintah sejak Oktober 2021. Aturan itu mengubah aturan sebelumnya, yakni Permenaker No 19/2015, yang memungkinkan pekerja peserta BP Jamsostek mengklaim tabungan JHT-nya satu bulan seusai mengundurkan diri (resign) atau seusai mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Perubahan ini diperburuk dengan kurangnya sosialisasi yang dilakukan Kementerian Tenaga Kerja, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz misalnya, mengaku belum pernah ada konsultasi secara formal dengan Kadin terkait Peraturan Menteri itu.
"Menurut kami itu memang masih kurang sosialisasi serta dialog di antara keduanya, dalam arti terhadap pekerja maupun pengusaha itu sendiri," katanya.
Berbeda dengan Kadin, Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial Apindo Aloysius Budi Santoso mengatakan informasi tersebut sudah pernah disosialisasikan, pihaknya sempat ada representatif di dalam forum Tripartit Nasional.
Tapi yang jelas kalangan dunia usah menyambut baik perubahan aturan tersebut, Kadin dan Apindo kompak menyambut baik perubahan aturan itu. Alasannya, secara filosofis Jaminan Hari Tua adalah tunjangan saat pekerja sudah purna tugas dan memasuki masa pensiun, saat tidak produktif lagi, pekerja dapat merasakan hasilnya dan tidak jatuh ke jurang kemiskinan di masa tua.
Namun, persoalan buruh dan majiikan seperti perang abadi, tarik ulur dari kedua pihak ini memang lumrah sulit menemui kata sepakat. Kalangan buruh dan pekerja tentu menolak dengan keras Permenaker yang berlaku efektif Mei 2022 itu.
Argumentasinya, ya itu uang buruh, diambil dan disisihkan dari pendapatan mereka. Jadi itu hak mereka mau diambil kapan saja, bahkan sebelum memasuki masa pensiun di usia 56 tahun. Secara empiris selama masa pandemi JHT adalah bidadari penyelamat buruh saat terkena gelombang PHK.
Ini berbeda dengan situasi di negara-negara maju, jika pekerja mengalami PHK, negara hadir dengan memberikan pendapatan bulanan yang besarannya di atur melalui mekanisme ketentuan. Fungsi dana pengangguran diciptakan negara dari redistribusi pajak agar perputaran ekonomi mereka tetap berjalan.
Hal ini sebetulnya ingin coba diterapkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi melalui Undang-undang Cipta Kerja, Pemerintah sudah memiliki regulasi baru untuk mengatur itu. Dari UU Cipta Kerja, pekerja memiliki jaminan cukup saat keluar dari pekerjaan dengan Jaminan Pensiun (JP) dan JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan).
Aturan turunan JKP juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021, baru akan resmi berlaku pada 22 Februari 2022. Namun, manfaat JKP tidak bisa diambil sekaligus, tetapi per bulan dengan besaran 45% dari upah untuk 3 bulan pertama dan 25% 3 bulan selanjutnya.
JKP sudah memberikan manfaat bulan ini. Bagi yang terkena pemutusan hubungan kerja dapat mengakses bantuan tunai, dan ini bisa menjadi pengganti JHT. Kalangan buruh lagi-lagi menolak, alasannya program JKP belum teruji efektivitasnya kendati sudah berlaku efektif bulan ini. Akan tetapi, tidak sepenuhnya pihak buruh menolak.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Saepul Tavip saat dihubungi Monitorday memaparkan beberapa argumennya. Tavip menilai dari pelbagai aspek. Pertama, secara yuridis Permenaker 2 tahun 2022 sudah sesuai dengan Pasal 35 dan 37 UU SJSN junto PP no. 46 tahun 2015. Menaker sudah benar mengikuti UU SJSN dan PP 46.
Kedua, secara sosiologis banyak pemimpin Serikat Pekerja dan Serikat Buruh menyatakan setuju mengembalikan pencairan JHT sesuai UU SJSN. Ini dilakukan dengan menulis surat ke Menaker sebelumnya Hanif Dhakiri. Tapi pada saat itu Menaker belum mau merevisi permenaker 19 yang bertentangan dengan pasal 35 UU SJSN.
Ketiga, tidak kalah penting, secara filosofis, Permenaker 2/2022 memastikan pekerja yang memasuki usia pensiun memiliki tabungan sehingga tidak jatuh ke jurang kemiskinan di masa tua.
Keempat, dari aspek ekonomis, uang buruh di JHT diinvestasikan dgn imbal hasil lebih tinggi dari imbal hasil deposito biasa, dan jangan takut hilang karena sesuai UU BPJS uang buruh dijamin APBN.
Kembali ke persoalan di awal, BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek menurut catatan telah mengalokasikan dana jaminan sosial ke Surat Berharga Negara sebesar 66%. Dilanjutkan dengan instrumen deposito yang porsinya mencapai 14%. Selanjutnya, instrumen saham memiliki porsi senilai 12%. Lalu, sisanya ada reksadana sebanyak 7% dan investasi langsung dengan porsi 1%.
Direktur Utama BP Jamsostek, Anggoro Eko Cahyo dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR di Komisi IX DPR menyampaikan, hasil investasi itu secara tahunan tumbuh 9,37% secara tahunan menjadi Rp 35,36 triliun.
Meskipun tumbuh, kata kunci dari persoalan yang melahirkan polemik baru antara buruh dan pemodal itu adalah tekanan terhadap arus kas BPJS Ketenagakerjaan alias Jamsostek yang meningkat di atas 200%, tekor karena pencairan klaim JHT lebih awal selama pandemi.
Uang dingin yang mendadak panas yang terjadi karena kenaikan klaim akibat kehilangan pekerjaan, sehingga dana gurih JHT dijadikan penyangga bagi stabilitas keuangan. Hal ini merupakan hipotesis yang dapat disimpulkan dari kontroversi terbitnya Permenaker No.2 Tahun 2022 ini