Berebut Masker di Tengah Pandemi Korona

WHO mendukung penggunaan masker untuk semua orang di tengah pandemi Covid-19. Negara-negara terdampak pun mulai berburu masker, bahkan ada yang melakukan pembajakan.

Berebut Masker di Tengah Pandemi Korona
Ilustrasi foto/Net

MONITORDAY.COM – Hari Kamis, tanggal 2 April 2020, sebuah pesawat yang penuh masker buatan China sudah siap di landasan, akan terbang ke Perancis. Kabar ini lalu segera diterima Jean Rottner, Kepala Wilayah Prancis Timur, yang dalam beberapa terakhir bekerja sepanjang waktu memastikan kebutuhan masker di wilayahnya.

Rottner senang bukan kepalang, sebentar lagi masker-masker itu akan terbang ke Perancis dan dapat membantu menahan laju penyebaran covid-19 yang memang tengah meninggi di wilayahnya, Grand East. Secara keseluruhan, otoritas perancis menyatakan pihaknya telah memesan 1 milyar masker untuk kebutuhan di dalam negerinya.

Sayang, belum sempat tinggal landas, Pemerintah AS bergerak lebih cepat, mereka membayarnya 4 kali lipat lebih mahal. Akhirnya masker-masker itu tak jadi dibawa ke Prancis, putar haluan ke AS.

Pemerintahan Trump memang tengah kalang kabut menghadapi virus korona. Mereka melakukan apa pun untuk mengantisivasi kemungkinan yang lebih buruk, karena Amerika saat ini menjadi negara dengan tingkat infeksi tertinggi di dunia.

“AS membayar 3-4 kali lipat lebih banyak daripada yang kami bayarkan, tunai. Padahal, kami sudah bekerja siang malam untuk memastikan masker-masker itu tiba di Perancis,” kata Jean Rottner seperti dilansir RFI, Kamis (2/4).

Meski otoritas Amerika Serikat di Washington membantahnya, namun publik dunia saat ini kadung menuding Pemerintahan Mr Trump sedang berusaha mendapatkan masker dengan berbagai cara yang tidak fair. Ini tak lain, karena tingkat infeksi virus korona di negaranya menjadi yang tertinggi di dunia.

“Laporan yang bertentangan, benar-benar palsu,” kata pejabat senor administrasi Pemerintah AS seperti dikutip dari AFP.

Pembajakan masker seperti ini sebetulnya tak hanya dilakukan oleh Amerika Serikat seorang, namun beberapa negara juga melakukannya, bahkan Perancis sendiri. Media Prancis L’Express melaporkan bahwa Paris telah mengambil stok dari produsen Swedia, Molnlycke, yang akan dikirim ke Spanyol dan Italia.

Semua klaim itu pun ditolak oleh masing-masing negara tertuduh. Entah betul atau tidak, namun yang pasti kebutuhan masker dunia memang tiba-tiba meningkat dan harganya melonjak. Tapi sialnya, ini jadi problem, karena kian banyak pula pihak-pihak yang memanfaatkan situasi. Mereka memborong, lalu menimbunnya hingga harga melangit, tak terkecuali di Indonesia.

Padahal, Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPP awal April lalu telah memaparkan hasil penelitiannya terhadap kelangkaan masker di pasaran yang membuat harga melambung setelah ditemukannya dua WNI positif korona.

Juru bicara sekaligus Komisioner KPPU, Guntur Saragih, ketika itu mengatakan jika pihaknya tak menemukan dugaan pelanggaran persaingan usaha.

“Kami tidak menemukan pelanggaran di rantai usaha utama sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, baik kartel maupun seluruh pasalnya,” ujar Guntur, Selasa (3/3).

Tapi faktanya, sebulan kemudian, pihak kepolisian mengaku sudah menangani 18 kasus penimbunan masker dan hand sanitizer per Rabu (1/4/2020). Masker dan hand sanitizer diburu masyarakat sejak munculnya kasus pasien Covid-19 di Indonesia. “Sudah ada 18 kasus yang ditangani mabes Polri dan jajaran,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (karopenmas) Divisi Humas polri Brigjen (Pol) Argo Yuwono, Rabu (1/4/2020).

Hasil perincian Polta Metro Jaya, kasus-kasus tersebut terjadi di Sulawesi Selatan (enam kasus), Jawa Timur dua kasus, Jawa Barat (tiga kasus), kepulauan Riau (dua kasus dan Jawa Tengah (satu kasus).

Sejatinya, trend penggunaan masker memang meningkat jauh sebelum kasus pertama virus korona ditemukan di Wuhan, 31 Desember 2019. Mengutip Japan Today, penggunaan masker oleh sejumlah anak muda di Jepang bahkan tidak sekadar menghindari penyakit, tapi mereka menggunakannya untuk menghangatkan wajah, menyembunyikan ekspresi wajah, dan menghindari obrolan dengan orang lain.

Tapi kini, masker bukan hanya menjadi trend, tapi kebutuhan paling utama untuk bertahan di masa pandemi Covid-19. Apalagi setelah badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengubah kebijakannya dengan mendukung penggunaan masker untuk semua orang di tengah penyebaran pandemic Covid-19.

Padahal sebelumnya, WHO hanya merekomendasikan penggunaan masker untuk orang sakit dan yang merawat pasien. WHO menyatakan masker bedah harus disediakan untuk petugas medis, sementara masyarakat bisa menggunakan masker berbahan kain untuk menutup wajah.

“Kami melihat keadaan dimana penggunaan masker, baik buatan sendiri maupun masker kain di tingkat masyarkat dapat membantu untuk merespons penyakit ini,” ujar Kepala Program Darutarat Kesehatan WHO Michael Ryan, dikutip Sabtu (4/4).

Pernyataan ini muncul setelah penelitian ilmiah menunjukkan dampak positif dari pemakaian masker dalam mencegah penyebaran virus korona. Hal ini setidaknya sudah diterapkan oleh Pemerintah di Kawasan Eropa yang mengharuskan masyarakat untuk menutup hidung dan mulut di depan umum. 

Sebuah penelitian yang dilakukan National Academy of Sciences (NAS) menunjukkan potensi virus corona dapat tersebar tidak hanya melalui bersin atau batuk, tetapi juga terlepas saat orang berbicara atau bahkan saat bernapas.

Alhasil, masker pun menjadi barang paling mahal sedunia. Jika ini terjadi karena semata hukum ekonomi yang bekerja, maka wajar saja. Karena permintaan memang sedang tinggi, sementara fungsinya sangat penting untuk mengurangi pandemi.

Takutnya, kelangkaan dan perebutan ini terjadi bukan untuk menghindari penyakit semata, tapi juga untuk menyembunyikan ekspresi wajah para pemain di balik masker. Pikir mereka, dengan masker kebiasaan mencari keuntungan di tengah kesulitan orang bisa dikamuflasekan.

Boleh jadi juga, mereka yang bermain di balik masker, ingin menyembunyikan kualitas kepemimpinan sebenarnya. Karena, seperti dikatakan Sekretaris PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, sesungguhnya pandemi korona memberi kesempatan kepada kita untuk mengetahui kualitas pemimpin dan kepemimpinan dari cara mereka menyelesaikan masalah, atau krisis.