Banyak Tahanan Kabur, DPR: Perlu Terobosan Penerapan Hukum Baru
Butuh terobosan penerapan hukuman, di mana kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan tidak serta merta menggunakan penjara sebagai sanksi pidana pokok.

MONDAYREVIEW.COM- Anggota Komisi III DPR RI, Akbar Faisal mengatakan bahwa perlunya formula sanksi hukum baru agar tidak selalu hukuman penjara yang digunakan sebagai hukuman pidana pokok.
“Ya ini tawaran saja. Saya kira negara kita butuh terobosan dalam penerapan hukuman, di mana kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan tidak serta merta menggunakan penjara sebagai sanksi pidana pokok,” ujar legislator Sulawesi Selatan II ini dalam rapat kerja Komisi III dengan Jaksa Agung di Kompleks DPR Senayan, Senin (5/6).
Meski demikian Akbar mengakui hal ini tidak mudah karena sanksi penjara ini sudah diatur dalam pasal 21 ayat (1) UU KUHP. Di sana disebutkan tentang perintah penahanan kepada tersangka karena adanya kekhawatiran melarikan diri atau menghilangkan alat bukti.
Namun dalam amatan politisi NasDem ini, penerapan sanksi penjara telihat kontras jika melihat tersangka yang berasal dari kalangan ekonomi bawah. Ini seperti yang dia temukan saat kunjungan kerja atau reses di dapilnya. Ada masyarakat yang mengadukan bahwa anaknya di penjara, karena hanya gara-gara mencuri di pasar.
Menurut Akbar, bagaimana mungkin seorang tersangka yang berasal dari kalangan tidak mampu bisa melarikan diri, "Wong dia ga punya materi, paling juga dia kuat lari 10 km."tegasnya
"Jadi ini sekedar tawaran saja, bisakah kita merubah mindset agar tidak selalu, tangkap, tangkap, tangkap; penjara, penjara. Sehingga tidak serta merta penjara selalu menjadi pidana pokok," imbuhnya.
Menjadi wajar, lanjut Akbar, apabila penjara menjadi penuh karena belum ada sanksi hukum lain. "Sedikit-sedikit sudah dimasukkan tahanan duluan, agar dia tidak melarikan diri. Mungkin ini bisa jadi pertimbangkan bagi Pemerintah dan Komisi III untuk mencari terobosan yang saat ini sedang membahas RUU KUHP,” jelasnya.
Akbar mengungkapkan kondisi penghuni rumah tahanan di seluruh Indonesia over kapasitas. Akbar mengungkapkan berdasarkan data tahanan di Indonesia lebih kurang 69.826 orang, sedangkan narapidana di seluruh Indonesia ada 150.099 orang. Jika ditotal, ada 219.925 tahanan yang terdapat di berbagai rumah tahanan seluruh Indonesia.
“Padahal kapasitasnya hanya mampu menampung lebih kurang 121.000 orang, jadi tidak heran ketika di tahanan mereka harus berbagi saat tidurnya. Karena secara penghuni sudah over capacity,” paparnya.
Seperti diberitakan, beberapa waktu lalu sekitar 200 tahanan kabur dari Rutan Kelas II B Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Riau. Hal ini terjadi karena kondisi Rutan tersebut dalam dalam kondisi over kapasitas. Jumlah tahanan yang menghuni rutan tersebut sebanyak 1.870, jauh lebih banyak dari kapasitas normal sebesar 300 tahanan.
Peristawa yang serupa juga pernah terjadi di Rutan di daerah lain. Antara lain di Lapas Narkotika Doyo, Jayapura. Sebanyak 19 tahanan Lapas narkotika, Doyo, Jayapura melarikan diri dengan cara memanjat tembok setinggi 9 meter. Para tahanan kabur dengan alat bantu kain tikar yang disambung untuk digunakan sebagai tali.
Larinya napi juga pernah terjadi di sejumlah lapas. Antara lain Lapas Kelas IIA Anak Martapura, Kalimantan Selatan, Lapas IIA Paledang, Bogor, Lapas Kelas IIIB Kota Banjarbaru. Larinya napi terjadi karena lapas dalam kondisi over kapasitas.