Bahas DTKS, Dekan FE UMC Nilai Data Kemiskinan BPS Perlu Dikaji

Bahas DTKS, Dekan FE UMC Nilai Data Kemiskinan BPS Perlu Dikaji
Dekan FE UMC, Asep Gunawan saat memberikan materi perihal Pengelolaan DTKS di Seminar dan FGD bersama Pusat Kajian Aktubilitas Keuangan Negara (PKAKN) BK DPR, di Swiss-Belhotel, Kota Cirebon Selasa (27/4/2021). 

MONITORDAY.COM - Data kemiskinan yang mengacu ke BPS sejauh ini sifatnya hanya pada kebutuhan dasar saja. Padahal faktor pendukung lainnya juga mesti menjadi perhatian dan harus dikaji lebih comprehensive

Hal ini disampaikan oleh Dekan Fakultas Ekonomi (FE) Umiversitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), Asep Gunawan saat memberikan materi perihal Pengelolaan DTKS di Seminar dan FGD bersama Pusat Kajian Aktubilitas Keuangan Negara (PKAKN) BK DPR, di Swiss-Belhotel, Kota Cirebon Selasa (27/4/2021). 

" Standar kemiskinan di kita masih mengacu ke standar kebutuhan. Sementara di negara lain, sudah mengikuti pada standar pendapatan," akui Asep. 

Faktanya, dalam praktik pengukuran kemiskinan, menentukan Garis Kemiskinan merupakan langkah yang paling sulit dan kontroversial dalam membangun profil kemiskinan, karena indikator ini dibangun dari data survei rumah tangga (M Ravallion, 1998). 

Perlu dipahami, dalam menentukan batas nasional tersebut, BPS akan menghitungnya menggunakan pendekatan agregat, yaitu nilai yang disamaratakan untuk setiap wilayah pada waktu tertentu. 

Kelemahannya, secara statistik sampling memang dapat menggambarkan keadaan suatu wilayah, tetapi metode ini tidak dapat digunakan untuk mendapatkan data detail tentang nama maupun alamat penduduk miskin. 

Bahkan, untuk jumlah secara pasti pun akan sulit didapatkan jika hanya mengandalkan metode sampling. Selain itu, perbedaan jumlah sampel juga menjadi kelemahan survei. 

Asep juga mengungkapkan sejumlah masyarakat yang tidak masuk dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), namun karena adanya pandemi Covid-19 merasa menjadi terdampak.

Oleh karena itu, kata Asep, objektifitas sangat menentukan penilaian layak tidaknya warga diberi bantuan. Namun Pemerintah juga dalam hal ini Dinsos kabupaten/kota harus transparan dalam menyampaikan informasi data dan ketentuan/persyaratan penerima bantuan sosial kepada masyarakat, karena mereka memiliki fungsi edukasi ke masyarakat.

Carut marut data harus diatasi agar bantuan-bantuan sosial tersebut dapat tepat sasaran mengingat banyaknya sumber bantuan. 

Pemerintah Daerah selaku penyelenggara layanan publik di daerah harus selalu mengedukasi masyarakat dan tidak perlu panik jika masyarakat komplain. Pemda harus memahami bahwa dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik, masyarakat selain sebagai pengguna layanan publik, masyarakat juga sebagai pengawas eksternal.

Oleh karena itu,  pemda dalam hal ini pada bagian pelaksana teknis pelayanan publik harus memiliki sarana komplain sebagai salah satu kewajiban penyelenggara layanan publik. 

Di samping itu,  tentang Penggunaan DTKS dan Non DTKS dalam Pemberian Bantuan Sosial ke Masyarakat,  pendekatan  transparansi dan akuntabilitas dalam pemberian bantuan sosial harus menjadi fokus utama. 

Menurut Asep, himbauan kepada tim pemutkahir DTKS  ini sangat penting karena besaran anggaran bantuan pun sangat fantastis. 

Dalam menghadapi potensi lonjakan kemiskinan, pemerintah memainkan peranan penting dalam memberikan berbagai stimulus dan bantuan.

Diketahui bahwa per Februari 2021, Pemerintah telah merealisasikan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) perlindungan social sebesar Rp220,39 triliun yang bertujuan untuk menekan laju peningkatan kemiskinan dan kesenjangan. 

Tentunya pemutakhiran dan memastikan data yang akurat melalui verifikasi dan validasi secara berkala menjadi keniscayaan dalam pelaksanaan program perlindungan sosial. Bahkan pengaturan verval secara berkala telah diatur khusus dalam peraturan perundang-undangan.