Babak Baru Independensi KPK
Mahkamah Konstitusi menolak uji materi seputar penggunakan hak angket DPR terhadap KPK. Apakah independensi KPK ikut terganggu?

MONDAYREVIEW-Jakarta, kontroversi hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lama tak terdengar. Perseteruan DPR versus KPK sempat memanas seolah-olah berakhir saat sejumlah pagawai KPK, mahasiswa dan akademisi melakukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, seputar pasal 79 ayat (3) Undang-undang nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tentang penggunaan hak angket oleh DPR.
KPK bersikukuh tidak mau mengikuti hak angket DPR. Polemik pun mencuat ada yang mendukung sikap KPK sebagai lembaga independen yang tidak bisa dikontrol oleh DPR. Tidak hanya rakyat umum, para pakar hukum tata negara terbelah sikapnya, antara yang pro dan yang kontra.
Mekanisme pemilihan pimpinan KPK harus melalui DPR. Lalu, siapakah yang berhak mengkontrol KPK jika DPR tidak bisa menggunakan hak angketnya, sebagaimana bisa dilakukan terhadap presiden?
Bagi yang setuju dengan sikap DPR untuk melakukan kontrol terhadap KPK, akhirnya mendapat legitimasi hukum dari MK. Gugatan uji materi hak angket akhir ditolak oleh MK dalam sidang putusan yang dibacakan Kamis kemarin (8/2).
"Bahwa tidaklah dapat dijadikan landasan untuk menyatakan hak angket DPR tidak meliputi KPK sebagai lembaga independen. Karena secara tekstual jelas bahwa KPK adalah organ atau lembaga yang termasuk eksekutif dan pelaksana undang-undang di bidang penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi," ujar anggota majelis, Manahan Sitompul. Hakim juga menilai DPR berhak meminta pertanggungjawaban dari KPK sebagai pelaksanaan tugas kewenangannya. Meskipun, KPK disebut sebagai lembaga independen.
Meskipun menolak permohonan pemohon soal hak angket DPR terhadap KPK, suara para hakim MK ternyata tidak bulat. Terdapat dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari 4 hakim MK, yaitu Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Maria Farida. Namun, 5 hakim lainnya termasuk Ketua MK Arief Hidayat, setuju tentang wewenang DPR membentuk angket untuk KPK.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif kecewa dengan putusan MK. Menurutnya, putusan MK kali ini inkonsisten dan bertentangan dengan putusan MK sebelumnya. “Empat putusan MK sebelumnya dikatakan KPK bukan bagian dari eksekutif, hari ini MK memutuskan bahwa KPK bagian dari eksekutif,” ujarnya.
Sedangkan, Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK Taufiqulhadi mengapresiasi putusan MK. Putusan MK merupakan momentum yang tepat, setelah Pansus mengakhiri masa kerjanya. “jadi tidak ada anggapan putusan itu diintervensi kepentingan DPR,” jelasnya.
Pansus KPK tidak akan kembali memperpanjang angket terhadap KPK, karena seluruh temuan dan rekomendasi terhadap KPK telah selesai. Hasilnya, akan dilaporkan ke paripurna.
Meski demikian, DPR bisa saja membuat Pansus Hak Angket terhadap KPK, jika diperlukan. “ Tapi, bukan karena dasar dendam, atau personal. Kami juga bekerja bukan berdasarkan sikap parsial, Kami tidak pernah berpikir seperti itu," tegas Taufik
Lalu, bagaimana pendapat hakim yang dissenting opinion?
Salah satunya hakim konstitusi I Gede Dewa Palguna menyatakan dalam sistem ketatatanegaraan di mana presiden menjadi dipilih oleh rakyat, maka presiden berhak membentuk lembaga pemerintah yang bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada parlemen.
Selanjutnya, hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan KPK bukanlah lembaga eksekutif. Dengan begitu, menurut Saldi, DPR tidak bisa menggunakan hak angket terhadap KPK.
"Berdasarkan penafsiran secara sistematis adalah tidak koheren apabila objek dari pelaksanaan hak angket dan hak-hak DPR lainnya yang diatur dalam pasal 79 UU MD3 dikatakan mencakup hal-hal yang berada di luar ruang lingkup kekuasaan pemerintah atau eksekutif," ujar Saldi.
KPK sebagai lembaga ad hoc bukan untuk sementara waktu, bisa mencontoh kepada pengalaman Hongkong, Thailand, China dan Malaysia, sehingga lembaga anti korupsi ini menjadi kuat dan terbebas dari perilaku koruptif.
Namun, jika KPK menjadi lembaga yang super, mungkinkah terbebas dari intervensi kekuasaan dan politik? Lalu, kalau KPK bertanggungjawab langsung kepada rakyat, bagaimana mekanismenya supaya publik makin percaya terhadap lembaga anti ruswah ini?
Pada masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa kasus korupsi yang melibatkan elit partai berkuasa tidak lepas dari jeratan KPK, mulai dari Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng, Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum hingga besan presiden sendiri Aulia Pohan.
Pada masa presiden Joko Widodo, masyarakat tetap berharap kepada peran KPK untuk membongkar berbagai kasus korupsi walaupun melibatkan para petinggi partai berkuasa. Tuduhan KPK masih tebang pilih terhadap berbagai kasus dugaan korupsi harus segera dibuktikan bahwa anggapan itu salah.
Publik pun menanti bagaimana KPK menyelesaian mega korupsi e-KTP, bahkan masih banyak kasus korupsi yang menggantung, seperti mega korupsi BLBI yang telah menguras uang negera hingga trilyunan.