Antara Pelecehan Seksual dan Seks Bebas Di Lembaga Pendidikan

Antara Pelecehan Seksual dan Seks Bebas Di Lembaga Pendidikan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim/ net

MONITORDAY.COM -Seorang dosen mempunyai otoritas atau wewenang ilmiah. Dia yang memberi nilai kepada mahasiswa atau menyatakan layak atau tidaknya sang mahasiswa untuk menyelesaikan kuliahnya. Meskipun kampus seharusnya menjadi lingkungan yang demokratis dengan hubungan yang mengedepankan  kesetaraan namun tak jarang para mahasiswa memiliki daya tawar yang rendah di hadapan para dosennya.

Otoritas itulah yang sering disalahgunakan oleh sebagian oknum dosen untuk melakukan tindakan yang melanggar etika dan norma hukum. Termasuk melakukan pelecehan seksual. Terutama dosen pria kepada mahasiswinya. Tanpa menafikan bahwa pelecehan seksual juga bisa dilakukan oleh dosen perempuan kepada mahasiswanya. Atau dosen pria berorientasi homoseksual kepada mahasiswanya. 

Di banyak kasus sangat terlihat jelas ada peran relasi kuasa dan bias gender yang sering disalahgunakan oknum tertentu untuk melakukan pelecehan seksual. Alih-alih suka sama suka, tindakan pemaksaan dilakukan dengan berbagai modus. Misalnya dilakukan dosen pengampu mata kuliah atau  pembimbing skripsi terhadap mahasiswinya. 

Banyak kasus pelecehan seksual yang dilaporkan dan sampai ke meja Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Diantaranya kasus dugaan pelecehan oleh dekan kepada mahasiswi Universitas Riau, dugaan pelecehan seksual oleh mahasiswa S2 UGM kepada beberapa mahasiswi, dan pengakuan atas tindakan pelecehan seksual oleh seorang dosen kepada mahasiswinya di Universitas Jember. 

Hingga terbitlah Peraturan Menteri yang mengantisipasi tindakan pelecehan agat tak semakin marak terjadi.  Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Aturan yang juga diadvokasi oleh berbagai kelompok masyarakat ini juga mengatur 21 bentuk kekerasan seksual, mulai dari kekerasan secara verbal, fisik/nonfisik, hingga memakai media teknologi dan informasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2).

.Yang dipersoalkan oleh sebagian orang adalah klausul persetujuan atau konsen. Jika tidak ada unsur pemaksaan alias mau sama mau maka seakan-akan tidak menjadi soal. Menteri nadiem dituding oleh sebagian orang yang tidak setuju dengan aturan ini sebagai Menteri yang melegalkan seks bebas atau kehidupan liberal di kampus.

Tak dapat dipungkiri bahwa kehidupan sebagian orang termasuk kalangan terpelajar cenderung semakin bebas. Termasuk di lingkup kampus perguruan tinggi.  Asal mau sama mau segala cara bisa dilakukan untuk melakukan perzinahan. Hubungan di luar nikah antar mahasiswa, antara mahasiswa dengan dosen, atau antar civitas akademika lainnya. 

Bagaimanapun ketentuan yang memuat pengecualian semacam ini ini berpotensi menimbulkan pro dan kontra. Terlepas dari semua itu perlindungan kepada ada pihak yang lemah harus dilakukan. Aturan yang bisa menekan bahkan menghilangkan budaya dan perilaku seks bebas di kampus bisa saja diatur tersendiri.

Kita bisa membandingkan dengan upaya sosialisasi penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi di kalangan anak muda untuk mencegah penularan penyakit HIV AIDS. Kampanye atau program itu itu dapat dianggap sebagai kampanye pergaulan bebas.

Meski tergantung kepada sudut pandang masing-masing orang Aturan ini ini layak di apresiasi sebagai bentuk upaya responsif melindungi korban dan calon korban pelecehan seksual di kampus