Anomali Pemilih dan Masa Depan Pemilu Serentak

Pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang dilakukan secara serentak ternyata membawa dampak yang sangat kuat terhadap kemenangan yang diperoleh para peserta Pemilu 2019.

Anomali Pemilih dan Masa Depan Pemilu Serentak
Ilustrasi foto/Net

MONITORDAY.COM - Pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang dilakukan secara serentak ternyata membawa dampak yang sangat kuat terhadap kemenangan yang diperoleh para peserta Pemilu 2019.

Kuncinya adalah konsistensi dan soliditas baik partai, simpatisan, tim sukses, maupun relawan yang bekerja di lapangan. Tanpa dua kunci ini, maka hasil pileg dengan pilpres menjadi tidak sinkron. Terjadilah apa yang dirilis lembaga survei Indikator di bulan Januari 2019 sebagai split ticket voting.

Bila mengacu pada hasil penghitungan suara akhir di beberapa daerah pemilihan (dapil) terutama di Jawa Barat, maka sangat terlihat bila banyak pemilih dari parpol memberikan suara kepada pasangan calon yang bukan diusung partainya.

Hal ini misalnya terungkap dari pengakuan caleg petahana dari Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa yang bertarung di dapil 10 Jabar, meliputi Kuningan, Pangandaran, Ciamis dan Banjar. Menurut Agun, kalau kedua syarat terpenuhi, hasilnya pun antara suara partai dan suara pilpres tidak akan berselisih jauh.

“Kalau konsisten dan solid, maka antara suara partai dan suara pilpres tidak akan berselisih sangat jauh. Terkecuali ada hal-hal tertentu yang sifatnya khusus atau kasuistik,” terang Agun.

Agun mencontohkan, untuk perhitungan akhir di Kota Banjar, dimana paslon nomor urut 01 berhasil menang dengan 53 persen suara. Sementara suara untuk pilegnya, kata Agun, Golkar yang jadi juara. Begitu juga dengan kemenangan 01 di Pangandaran, berbanding lurus dengan kemenangan PDIP dan Golkar.

Berbeda halnya dengan hasil perhitungan akhir suara di Kabupaten Kuningan dan Ciamis, yang dimenangkan oleh paslon 02. Padahal untuk pilegnya, di kedua kabupaten tersebut justru dimenangkan oleh PDIP.

Menurut Agun, split ticket voting yang terjadi di Kabupaten Ciamis dan Kuningan sangat terkait dengan konsistensi dan soliditas partai pengusung yang bertarung. Dirinya mengakui, bila di kedua kabupaten dengan basis masa 212 itu, partai pengusung 02 lebih solid dan konsisten.

“Konsistensi dan soliditas partai-partai pengusung pasangan nomor urut 02 di kedua kabupaten tersebut jauh lebih baik dibanding partai pengusung kubu sebaliknya,” tutur Agun.

Daerah lain yang mungkin menjadi paling anomali adalah Purwakarta. Karena daerah ini seperti diketahui merupakan basis massanya politisi Golkar dan Ketua TKD Jabar, Dedi Mulyadi. Namun hasil perhitungan suara akhir di tempat ini sangat mencengangkan, suara pasangan nomor urut 01 paling rendah se-Jabar, namun Dedi Mulyadi sendiri justru paling tinggi dan melenggang mulus ke Senayan.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin mengatakan, bila split ticket voting yang terjadi di Jawa Barat terjadi karena sejak awal baik parpol maupun caleg yang bertarung sudah berpatokan pada hasil Pemilu di periode sebelumnya. Bahwa Jawa Barat adalah basis utama Prabowo.

“Jawa Barat memang basis Prabowo. Dan itu sudah terjadi dari 2014 yang lalu. Jadi Wajar jika parpol pengusung paslon 01 tak berani terbuka mengkampanyekan capresnya. Mereka memilih berjuang sendiri,” kata Ujang.

Akibatnya, kata ujang, caleg-caleg dan partainya menjadi tidak satu paket dalam mengkampanyekan pasangan capres-cawapresnya. Mereka mengalami kesulitan mensosialisasikan diri, partai, dan capres/cawapresnya.

“Para caleg dan partainya kurang mengkampanyekan capres dan cawapresnya. Karena ingin nyari aman. Akhirnya soal pilpres itu soal lain,” tuturnya.

Padahal, menurut dia, sesungguhnya masyarakat Jawa Barat itu merupakan masyarakat yang moderat, ramah, dan semua kepentingan bisa masuk asal rasional. Ujang pun menolak keras, jika ada tuduhan masyarakat jabar merupakan penganut Islam konservatif. Bagi dia, tuduhan itu sangat berlebihan.

“Mungkin masyarkat Jawa Barat itu sangat taat dalam menjalankan agamanya. Tapi kebetulan saja mereka mendukung 02. Jadi dituduh konservatif,” pungkas Ujang.

Bagi Ujang, apa yang terjadi di Jawa Barat, maupun tempat lainnya yang menunjukkan adanya anomali pemilih ini cukuplah menjadi catatan. Terutama untuk masa depan penyelenggaraan Pemilu Serentak. Apalagi dengan kenyataan bahwa Pemilu 2019 telah menghabiskan banyak hal, tak hanya dana dan tenaga, namun juga nyawa.