Akademisi UMC: Pejabat Publik Harus Selective Kata dan Diksi Saat Berucap
Pejabat publik yang bijak ada baiknya menjaga lisan dalam bertutur kata, termasuk pemilihan diksi yang tepat.

MONITORDAY.COM - Abong lètah teu tulangan, biwir teu diwengku atau bicara tanpa dipikir lebih dulu, yang akhirnya menyakitkan hati orang. Penggalan bahasa sunda ini tampaknya berkaitan dengan ujaran Puan Maharani yang dinilai telah menyulut emosi masyarakat Sumatra Barat (Sumbar).
Meski sejumlah politisi PDIP menyanggah bahwa ucapan Puan yang juga ketua DPRI RI ini tidak bermaksud menyinggung, namun nasi sudah menjadi bubur. Forgive but never forget, mungkin bisa dimaafkan tapi tidak pernah terlupakan begitu saja.
"Pejabat publik ada baiknya menjaga lisan. Terutama saat harus berhadapan dengan orang lain.Terkadang kekhilafan kata dapat merusak hubungan. Untuk itu, berhati-hatilah dalam berbicara termasuk pemilihan diksi dan kata," ucap Akademisi Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), Asep Gunawan kepada monitorday.com, sabtu (5/9/2020).
Dijelaskan Asep, pejabat publik perlu berhati-hati mengeluarkan staement karena tutur kata yang terlontar dari mulut sang pejabat bakal menjadi sorotan. Apa yang terjadi di sumbar menjadi contoh betapa pemilihan kata yang dilontarkan Puan maharani mengundang tanya.
"Mungkin bu puan niatnya baik tapi milih kata yang tidak tepat jadinya seperti itu. Kadang niat baik tidak selalu dinilai baik sama orang lain," tuturnya.
Kandidat Doktor ini menyoroti ujaran Puan tentang "Semoga Sumbar mendukung Negara Pancasila" telah memicu reaksi banyak kalangan, terutama di Sumbar. Seolah selama ini Sumbar kurang mendukung Pancasila.
Jika demikian, publik sangat menyayangkan kedewasaan Politisi Senior PDIP yang katanya memiliki darah minang itu. Patut diduga, Puan kecewa karena partainya kalah dalam pemilu 2019 silam di Sumbar. Selain itu, Megawati Soekarnoputri juga mempertanyakan mengapa partainya sulit menang di ranah minang.
Secara substansi, pernyataan Puan seolah mewartakan sikap, persepsi dan pandangan petinggi partai berlogo banteng itu terhadap masyarakat Sumbar secara keseluruhan.
Seharusnya menurut Asep, Puan tidak perlu membenturkan Pancasila karena bagi warga Sumbar prinsip asas negara telah final. Pancasila dan NKRI dianggap sebagai warisan dan perjuangan para tokoh Sumbar.
"Pernyataan Puan bisa disikapi sebagai hegemonik atas pemaknaan Pancasila, seolah satu keompok lebih Pancasilais dibandingkan kelompok lain. Hal itu jelas bersifat kurang bijak. Selain itu semakin merontokkan pamor PDIP di ranah minag,” tegas Asep.
Negeri ini sudah 75 tahun merdeka, yang perlu di suarakan oleh politisi baik PDIP dan Partai lainnya adalah catatan untuk mengisi kemerdekaan. Apalagi Presiden Jokowi meminta setiap elemen bangsa saat menghadapi pandemi ini harus melakukan langkah extraordinary, baik disisi ekonomi, sosial dan politik.