Agama dan Kebangsaan Sejatinya Terintegrasi
Jika ingin terbangun kehidupan beragama, berbangsa dan bersemesta yang moderat, maka jalan utamanya adalah moderasi, bukan deradikalisasi.

MONITORDAY.COM – Membangun negara besar mestinya melalui narasi yang besar dan benar. Jangan melalui narasi keliru dan gaduh. Karena narasi-narasi seperti itu tak pernah bisa menguatkan kualitas demokrasi dan kehidupa berbangsa kita. Gelembung isunya sering kali malah sekadar menjadi permainan panggung kontemporer.
Bangsa Indonesia mestinya diajak ke arah perdebatan narasi yang substansial, bukan narasi kegaduhan. Kenapa begitu, karena masyarakat kita piawai merevlikasi perilaku dari tayangan maupun narasi yang dibuat elite, kultivasi namanya.
Termasuk soal makna Pancasila, Bangsa Indonesia pasti tak akan pernah tau cara yang benar yang dikehendaki para pendiri negara. Jika narasi yang digunakan berdasar narasi yang keliru seperti perdebatan soal ‘musuh terbesar Pancasila adalah Agama’.
Seperti disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir, bahwa pernyataan musuh terbesar Pancasila ialah Agama, merupakan narasi keliru dan menimbulkan kegaduhan semata. Keliru, karena menurutnya itu itu kesimpulan yang salah secara logika maupun substansi.
“Jika pernyataan kontroversial itu lahir dari fakta kelompok kecil umat yang memandang Pancasila thaghut. Kesimpulan tersebut jelas salah secara logika maupun substansi,” kata Haedar dalam tulisan viralnya di media massa akhir pekan lalu.
Haedar mencontohkan, jika anda melihat kucing hitam hatta jumlahnya banyak, maka jangan simpulkann semua kucing berbulu hitam. Menurut Haedar, ini merupakan pelajaran mantiq paling dasar.
“Ketika kesalahan logika dasar itu dibenarkan dan diulangi, boleh jadi ada masalah lain yang lebih problematik di ranah personal dan institusional,” terang Haedar.
Dalam materi logika yang biasa dipelajari, kesalahan logika ini biasa disebut fallacy of hasti generalization. Yaitu kekeliruan karena membuat generalisasi yang terburu-buru. Mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehingga kesimpulan yang ditarik melampaui batas lingkungannya.
Haedar Nasir juga mencatat ada kesalahan substansial yang lebih parah. Menurutnya, Agama manapun tidak bertentangan dan memusuhi Pancasila. Karena menurutnya, para pendiri bangsa dari semua golongan telah bersepakat menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara.
“Di dalam Pancasila terkandung jiwa dan nilai ajaran agama yang luhur. Bung Karno bahkan berkata, dengan sila ketuhanan maka bukan hanya manusianya, tetapi Negara Indonesia itu bertuhan,” tutur Haedar.
Indonesia menurut Haedar tak perlu gaduh, jika siapa pun yang bersalah berjiwa kesatria. Karena kata Haedar, bila kearifan itu lahir tanpa kepongahan, maka reaksi publik tentu positif,” ujarnya.
Lebih lanjut, klarifikasi pun tidak diperlukan jika sekadar sebagai upaya apologi, mencari pembenaran di kemudian hari dengan merakit argumen baru yang esensinya bermasalah.
Menangkal Paradigma Ekstrem
Pada akhirnya, menurut Haedar, menyatakan Agama musuh terbesar Pancasila sama bermasalah dengan memandang Pancasila thagut modern. Karena, kata Haedar, itu setali mata uang dengan pemikiran jika Indonesia ingin maju tirulah Singapura yang menjauhkan agama dari negara.
“Berbanding lurus dengan pandangan bila negeri ini ingin keluar dari masalah harus menjadi negara khilafah,” tutur Haedar.
Bagi Haedar, sejumlah kegaduhan di negeri ini tak terjadi secara kebetulan. Namun di dalamnya bersemi paradigma ekstrem dalam memandang Agama, Pancasila, ke-Indonesiaan, dan dimensi kehidupan lain.
“Di balik kontroversi soal Agama versus Pancasila serta pandangan sejenis lainnya terdapat gunung es kesalahan paradigma dalam memposisikan agama dan kebangsaan,” ujar Haedar.
Haedar Nasir menjelaskan, pikiran ekstrem dalam hal apa pun akan melahirkan pandangan dan tindakan yang berlebihan. Ini terjadi karena sudah lama dicekoki oleh pemikiran bahwa sumber radikalisme-ekstremisme dalam kehidupan berbangsa ialah agama dan umat beragama.
Akibatnya, kata Haedar lahirlah pandangan dan orientasi yang serba ekstrem tentang agama dan kebangsaan. Agama seolah racun negara dan Pancasila.
Bahayanya, menurut Haedar, pola pandang ekstrem beragama ala takfiri ini melahirkan pengikut yang fanatik buta. Lebih lanjut, kata Haedar, tumbuh pula kelompok ekstrem liberal-sekuler, yang tampil dalam kemasan baru.
Karena sudah terlampau ekstrem dan gaduh, kata Haedar, maka moderasi atau wasathiyyah harus dikembangkan. Menurut Haedar, jika ingin terbangun kehidupan beragama, berbangsa dan bersemesta yang moderat, maka jalan utamanya adalah moderasi, bukan deradikalisasi.
“Paradigma deradikalisme menimbulkan benturan karena ekstrem dilawan ekstrem dalam oposisi biner yang sama-sama monolitik,” tuturnya.
Menurut Haedar, membenturkan agama versus Pancasila maupun ide mengganti salam agama dengan salam Pancasila secara sadar atau tidak merupakan buah dari alam pikiran deradikalisme yang ekstrem.
Jika paradigma ini terus dipertahankan, kata Haedar, maka akan muncul lagi kontroversi serupa yang menghadap-hadapkan secara diametral agama dan kebangsaan, yang sejatinya terintegrasi.