4 Bekal Seorang Pendakwah

4 Bekal Seorang Pendakwah
ilustrasi perjalanan/net

MONITORDAY.COM - Dakwah merupakan perjalanan terpanjang seorang Rasul. Sejak dari kandungan hingga menemui ajalnya, kehidupan seorang Rasul tak lepas dari berdakwah. Setiap kata, tingkah, perilaku bahkan diamnya saja adalah materi dakwah.

Masalahnya, Islam membatasi kerasulan hanya sampai Rasulullah Muhammad SAW. Beliau didaulat sebagai penutup para nabi dengan mengemban tugas penyempurnaan akhlak dan penyempurnaan ajaran islam.  Tidak ada kerasulan setelah Nabi Muhammad SAW wafat bukan berarti risalah dakwah terhenti.

Risalah dakwah dititipkan Rasulullah SAW kepada umatnya, umat islam. Dalam perjalanan hidupnya, umat islam dibebani tugas dakwah. Perjalanan yang hanya boleh dihentikan oleh kematian. Agar perjalanan tersebut selamat sampai tujuan, maka seorang pendakwah harus memiliki bekal yang cukup, energi yang kuat dan napas yang panjang.

Bekal niat saja tidak akan cukup, karena jauhnya jalan dakwah tidak selalu mulus seperti jalan tol. Pasti ada belokan, jalan bergelombang, melewati tanjakan curam, dan berbagai macam cobaan dan rintangan yang tidak kita tahu.

Oleh karena itu, seseorang yang mengemban tugas berat dari Rasulullah ini, harus membekali diri dengan beberapa hal.

1. Keteladanan

Sebelum mendakwahkan sesuatu, seorang pendakwah harus terlebih dahulu mempraktikkan apa yang akan didakwahkan. Sebelum menyuruh orang sholat, maka kerjakan dulu oleh diri sendiri. Hal ini merupakan faktor suksesnya dakwah Rasulullah SAW. Allah telah menetapkan beliau sebagai teladan.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab: 21)

Istri tercintanya, Siti Aisyah r.a juga menyebutkan bahwa akhlak Rasulullah adalah akhlak Quran. Artinya setiap ayat Al-Quran yang sampai kepada beliau, beliau pasti mempraktikannya dan diinternalisasikan ke dalam jiwanya.

Segudang kisah menceritakan bagaimana orang-orang arab menjadi mualaf karena luluh dengan akhlak nabi. Seorang pengemis buta bahkan mencari-cari Rasulullah walau beliau sudah wafat. Seseorang yang pernah meludahinya, beliau jenguk. Bukankah sudah jelas bahwa keteladanan adalah bekal utama dalam perjalanan dakwah?

2. Ketekunan dan Sikap Pantang Menyerah

Bekal selanjutnya yang harus dibawa dalam perjalanan dakwah adalah ketekunan dan sikap pantang menyerah. Ketekunan dalam konteks dakwah sama dengan keistiqomahan. Keistiqomahan harus terus dipelihara. Karena sekali lagi, jalan dakwah itu terjal dan melelahkan. Hanya orang-orang yang tekunlah yang mampu bertahan.

Di jalan dakwah, kita akan selalu menemui peluh dan sakit. Seperti yang dirasakan Rasulullah saat berdakwah. Dilempari batu, diusir, diasingkan, bahkan hampir dibunuh. Tapi apa yang didapatkan setelah itu? Contoh kecil saja, manusia sekeras Umar mampu takluk akan dakwah Islam.

Dan peristiwa yang paling besar sebab ketekunan dakwah Rasulullah adalah takluknya kota Mekah (Futuh Mekah). Meski harus melewati waku bertahun-tahun lamanya, Rasulullah tidak pantang menyerah, dengan tekun sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti, niat Rasulullah megislamkan seluruh jazirah arab berbuah keberhasilan. Akhirnya Mekah menjadi besar dengan cahaya islam.

3. Berilmu dan Mencintai Ilmu

Bekal yang satu ini harus terus direfill, karena ilmu itu semakin dikonsumsi akan semakin butuh. Ilmu Allah sangat luas, jika pohon jadi pena dan samudra jadi tinta, maka tidak cukup 7 samudra untuk menuliskan ilmu-ilmu Allah.

Bagi seorang pendakwah, ilmu adalah bekal penting yang tidak boleh tidak ada. Pendakwah digambarkan sebagai sumber ilmu. Orang yang bingung dan tersesat biasanya mempercayai seorang pendakwah untuk menuntun hidup mereka menuju hidayah.

Jika sumber ilmu saja tidak berkompeten dalam keilmuannya atau dia mempelajari ilmu secara setengah-setengah. Maka hanyalah kebodohan yang ia sampaikan, bukan kebaikan ataupun materi dakwah.

Ibnu al-Hudzail pernah berkata bahwa seseorang yang belum cukup ilmu dan belum waktunya menjadi sumber ilmu namun sudah berani mengajarkannya, niscaya bakal terhina. Kehinaan yang akan ia dapatkan dengan diperlihatkannya kesalahan-kesalahan yang ia buat.

Selain harus memiliki ilmu, seorang pendakwah juga harus mencintai ilmu. Memiliki dan mencintai adalah dua hal yang harus selalu bersama. Ketika kita memiliki sesuatu misalnya barang, maka cara untuk mencintai barang tersebut adalah dengan dirawat dan dijaga agar tidak rusak.

Begitupun dengan mencintai ilmu. Selama seseorang memiliki ilmu, maka tanggungjawab selanjutnya adalah menjaga ilmu tersebut, mencintainya dengan cara mengamalkannya kepada orang lain.

4. Menghindari sifat merasa suci

Allah berfirman dalam Surah An-Najm ayat 32: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Sifat merasa suci adalah tantangan terbesar seorang pendakwah. Biasanya orang yang didakwahi lebih buruk daripada dia. Padahal nyatanya bukan seperti itu, pendakwah hanya diberi kesempatan oleh Allah untuk terlebih dulu mengetahui sesuatu sebelum mereka yang didakwahi. Saat itu setan sengaja membuat tipu daya.

Seorang pendakwah hendaknya menjadikan kemurnian niat dan keikhlasan hati sebagai bekal dakwahnya. Sebab dimana hati itu ternodai, maka terhambatlah perjalanan dakwah. Dan yang paling mengerikan, hilangnya keberkahan dan keridhoan Allah serta tercabutnya hidayah, naudzubillahi min dzalik.

Sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah mengisahkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Ada dua orang laki-laki dari Bani Israil yang saling bersaudara; salah seorang dari mereka senang berbuat dosa sementara yang lain giat beribadah. Orang yang giat beribadah itu selalu melihat saudaranya berbuat dosa hingga ia berkata, “Berhentilah.”

Lalu pada suatu hari ia kembali menciduk saudaranya berbuat dosa, ia berkata lagi, “Berhentilah.”  Ahli dosa itu berkata, “Biarkan aku bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku?” Ahli ibadah itu berkata, “Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.”

Dikisahkan lagi bahwa Allah kemudian mencabut nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Allah. Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah: “Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?”

Allah lalu berkata kepada pelaku dosa: “Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga dengan rahmat-Ku.” Dan berkata kepada ahli ibadah: “Pergilah kamu ke dalam neraka.” Abu Hurairah berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya.” (HR Abu Dawud no. 4255)