Plus Minus Kenaikan Harga Minyak Mentah bagi Indonesia
Penerimaan migas naik, percepatan realisasi investasi sektor migas juga potensial untuk naik. Namun, beban subsidi BBM akan semakin menggerus laba Pertamina

MONDAYREVIEW- Harga minyak mentah di pasar dunia kembali merangkak naik. Angkanya menyentuh US$ 67,43 per barrel untuk minyak mentah Indonesia yang diberi kode ICP atau Indonesia Crude Price. Kenaikan harga itu di picu oleh beberapa faktor, antara lain karena serangan udara terbesar yag dilakukan AS terhadap Suriah dan kenaikan permintaan sebesar 30 ribu barrel per-hari pada bulan April 2018 menurut data yang dirilis oleh OPEC. Arab Saudi bahkan ingin mengupayaka agar harga minyak mereka berada di level US$ 80 per barrel.
Organisasi energi internasional bahkan merilis data kenaikan permintaan sebesar 1,5 juta barrel per hari sepanjang tahun 2018 ini. Sementara untuk kawasan Asia, India membutuhkan lebih bayak minyak untuk pembangunan infrastrukturnya. Korea Selatan juga membutuhkan lebih banyak minyak untuk industri petrokimianya. Tiongkok pun terus meningkat kebutuhan minyaknya seiring pertumbuhan ekonominya.
Berkahnya, pendapatan dari sektor migas ikut naik. Target lifting atau minyak siap jual harus terpenuhi hingga pendapatan bisa maksimal. Tahun lalu, target itu tidak terpenuhi namun secara umum target pendapatan migas mencapai 108 persen dari patokan APBN-P karena tertolong dengan kenaikan harga minyak. Kelebihan penerimaan ini dapat digunakan antara lain untuk menopang subsidi BBM di tanah air.
Kenaikan harga minyak akan mempercepat investasi di bidang energi. Realisasi investasi di sektor energi masih rendah karena pada triwulan pertama 2018 belum mencapai 25% dari total rencana investasi tahun ini. Menurut SKK Migas dari total US$ 14,3 Miliar baru terrealisasi sebesar US$ 2,4 Miliar. Target ini akan lebih realistis untuk dicapai bila Kementerian Keuangan menyetujui tax holiday bagi industri hulu migas.
Beratnya beban subsidi BBM sangat terasa di tengah kenaikan harga minyak yang sangat siginifikan. Dalam APBN 2018 asumsi harga minyak mentah dipatok US$ 48. Ini menunjukkan bahwa subsisdi harus ditambah. Bagaimanapun BBM bersubsidi tetap harus tersedia untuk mengendalikan inflasi. Kenaikan harga barang dan jasa akibat biaya operasional transportasi akan merembet dan bisa mengakibatkan efek domino. Namun demikian, kesadaran masyarakat yang memiliki daya beli memadai untuk tidak menggunakan BBM Bersubsidi juga harus ditumbuhkan.
Kalkulasi pemerintah dalam menghadapi kenaikan harga minyak mentah dunia dilakukan dengan mempelajari sejarah fluktuasi harga minyak dunia dan dampaknya bagi perekonomian nasional. Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar menyampaikan hal tersebut bulan lalu. Yang pasti, sesuai arahan Presiden, BBM bersubsidi jenis premium harus tersedia di seluruh wilayah NKRI.
Antisipasi yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan inflasi dinilai sangat penting di tengah gejolak harga minyak. Inflasi yang mungkin akan membesar pada beberapa bulan ini karena bersamaan dengan momen Hari Raya Idul Fitri. Pemerintah melalui Menko Perekonomian mengusulkan agar subsidi BBM jenis solar ditambah dari angka Rp 500 perliter menjadi Ro 700 hingga Rp 1.000 per liter.
Jika subsidi tidak dinaikkan maka Pertamina yang akan terkena imbasnya. Pertamina sendiri saat ini sudah cukup berat menanggung beban kebijakan BBM satu harga. Tahun 2017 laba Pertamina sudah tergerus hingga 30% dibanding tahun 2016 karena kenaikan harga minyak mentah dunia yang tidak diimbangi dengan kenaikan harga BBM dalam negeri.