Yang Tersurat dan Tersirat dari Kemeja Berwarna Biru Anies-Sandi
Ketika mereka tidak menggunakan kemeja berwarna putih dan malahan menggunakan kemeja berwarna biru tentulah timbul pertanyaan.

MONDAYREVIEW.COM – Pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno mengenakan kemeja berwarna biru dalam debat pamungkas Pilkada DKI Jakarta yang dihelat di Hotel Bidakara, Rabu (12/4) malam.
Bukan tanpa alasan Anies-Sandi menggunakan kemeja berwarna biru. Membangun kembali persatuan menjadi makna yang termaktub dari kemeja biru tersebut.
“Kami melihat ini bagian dari proses membangun persatuan. Kami tidak seperti biasanya, pakai baju biru. Sudah saatnya membangun kembali rasa persatuan,” kata Anies memberikan keterangan seusai debat final Pilkada DKI Jakarta.
Sementara itu Sandiaga Uno menyebut kemeja biru merupakan pesan untuk mempersatukan kembali warga Jakarta setelah riuhnya kontestasi dan kampanye.
“Kami hadir dengan baju biru, di luar kebiasaan kami yaitu atribut kampanye kami karena mengirimkan pesan bahwa kami sudah harus memikirkan bagaimana kami mempersatukan warga Jakarta melalui proses panjang ini,” kata Sandiaga menjelaskan makna pemakaian kemeja biru.
“Mas Anies tahu saya setiap Rabu pakai baju biru tetapi dia nunggu saya sampai jam 12, belum ada permintaan dari saya dia malah menawarkan yuk pakai baju biru, kirim pesan campaign is about to be over. Akhirnya Mas Anies sepakat yuk kita kirimkan pesan mempersatukan,” imbuh mantan Ketua HIPMI tersebut.
Ada pun menurut hemat saya selain penjelasan dari Anies-Sandiaga di atas, penggunaan kemeja berwarna biru dapat menggunakan pisau analisa berikut. Ada unsur kejutan yang diharapkan menjadi pemberitaan. Publik tentu sudah mafhum dengan penggunaan kemeja berwarna putih. Baik Anies maupun Sandiaga kerap menggunakannya, baik dalam acara debat resmi ataupun ketika melakukan kunjungan ke warga DKI Jakarta. Maka ketika mereka tidak menggunakan kemeja berwarna putih dan malahan menggunakan kemeja berwarna biru tentulah timbul pertanyaan.
Jangan lupakan bahwa politik tak sekadar penjelasan rasional, ada unsur emosi, kemasan, tampilan luar yang ikut menentukan pilihan. Pada sisi emosi, kemasan, dan tampilan luar inilah kemeja berwarna biru menemui relevansinya. Publik dibawa pada pesan campaign is about to be over, maka transformasi berikutnya yang diharapkan dari kandidat Pilkada DKI Jakarta yakni menjadi pemimpin yang mempersatukan kembali warganya yang terbelah dalam kontestasi Pilkada.
Pisau analisa berikutnya yakni pesan persatuan. Jika banyak yang menganalisa debat final Pilkada DKI Jakarta antiklimaks dan kurang seru secara “jual-beli serangan”, maka menurut hemat saya kedua pasangan calon memang menahan diri untuk tidak terlampau agresif “menguliti” dan mengkritisi lawannya. Publik memang memiliki dinamika tersendiri terkait debat. Di satu sisi menginginkan “jual-beli serangan” dalam debat, namun biasanya pihak yang terlampau agresif mengkritisi kandidat lainnya malahan mendapatkan antipati dan tidak berkorelasi positif pada tingkat keterpilihan.
Maka tak mengherankan jika Anies Baswedan berulang kali dalam debat menyatakan “sependapat dengan Ahok, namun…” – hal tersebut untuk menimbulkan tone persatuan dan tidak terlampau agresif dalam mengkritisi.
Tone persatuan untuk kemudian dilanjutkan seusai debat melalui penjelasan mengapa memakai kemeja berwarna biru seperti diungkapkan dalam pernyataan Anies-Sandi di atas.
Dengan rangkaian pisau analisa tersebut, menurut hemat saya itulah yang tersurat dan tersirat dari kemeja berwarna biru ketika dihadirkan di debat pamungkas Pilkada DKI Jakarta.