WHO Prediksi Pandemi Masih Berlanjut Hingga 2022, Begini Alasannya

WHO Prediksi Pandemi Masih Berlanjut Hingga 2022, Begini Alasannya
Direktur Umum WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus/ Dok. Reuters.

MONITORDAY.COM - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan bahwa pandemi COVID-19 bisa berlangsung berlarut-larut hingga tahun 2022. Sebab, negara-negara miskin kurang mendapatkan pasokan vaksin mereka perlukan.

Direktur Umum WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus menyoroti tidak meratanya distribusi vaksin. Terlebih, pejabat senior WHO Dr Bruce Aylward juga sudah memperingatkan bahwa kurangnya vaksin akan membuat pandemi masih berlanjut hingga tahun 2022.

"Kami mengimbau negara-negara kaya mau menyerahkan alokasi vaksin mereka agar perusahaan farmasi dapat memprioritaskan negara-negara berpenghasilan rendah," ujarnya.

Dilansir redaksi dari BBC, Jumat (22/10/2021) kurang dari 5% populasi Afrika telah divaksinasi. Angka ini sangat timpang dibandingkan sebagian besar benua lain yang persentasenya 40%.

Aylward menyebutkan negara-negara kaya perlu menginventarisasi di mana posisi mereka berada, dengan komitmen donasi mereka yang dibuat pada pertemuan puncak seperti pertemuan G7 di St Ives musim panas ini.

"Saya beritahu Anda bahwa kita tidak berada di jalur yang benar. Kita benar-benar perlu mempercepatnya. Jika tidak, pandemi ini akan berlangsung lebih lama dari yang seharusnya," katanya.

Pandemi COVID-19, yang telah menyebabkan tewasnya sekitar 4,6 juta orang dan menginfeksi lebih dari 228 juta orang di seluruh dunia, di sisi lain telah mengungkap ketidaksetaraan yang mencolok di antara negara-negara terkait akses dan keterjangkauan vaksin.

Hasil penelitian WHO, akan ada cukup vaksin diproduksi pada tahun 2021 untuk menjangkau 70% populasi global yang mencapai 7,8 miliar.

Namun, sebagian besar vaksin dicadangkan untuk negara-negara kaya, sedangkan negara-negara penghasil vaksin lainnya membatasi ekspor dosis sehingga mereka dapat memastikan bahwa warganya mendapatkan vaksinasi terlebih dahulu, sebuah tindakan yang disebut "nasionalisme vaksin".

Keputusan beberapa negara untuk memberikan vaksin booster kepada warga yang sudah disuntik ketimbang memprioritaskan dosis untuk orang yang tidak divaksinasi di negara-negara miskin juga mendapat sorotan tajam.

Menurut Global Dashboard for Vaccine Equity (didirikan oleh UNDP, WHO dan Oxford University) pada 20 Oktober, hanya 4,51% orang di negara-negara berpenghasilan rendah yang telah divaksinasi dengan setidaknya satu dosis. Hal ini sangat jauh dibandingkan dengan 62,79% di negara-negara berpenghasilan tinggi.