UU MD3 Disahkan, IPR: Demokrasi Sudah 'Dibajak'

Di negara demokrasi seperti Indonesia, mengkritik diperbolehkan

UU MD3 Disahkan, IPR: Demokrasi Sudah 'Dibajak'
Ujang Komaruddin. (ist)

MONITORDAY.COM - Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komaruddin menanggapi disahkannya revisi Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Salah satu ketentuan UU tersebut yakni pengkritik anggota DPR memungkinkan untuk dipidana.

 

Ujang menegaskan di negara demokrasi seperti Indonesia, mengkritik diperbolehkan dalam rangka mengingatkan. "Namun, jika kritik berbuah pidana atau dipidanakan, ini yang jadi persoalan," ujarnya dalam pesan singkat kepada MONITORDAY.COM, Rabu (14/2/2018).

 

Bahkan ia menuturkan dengan disahkannya revisi UU MD3 membuat demokrasi Indonesia telah 'dibajak'. "Ketika orang yang mengkritik DPR bisa dipidanakan, dimana letak demokrasinya? Jadi, demokrasi sudah dibajak oleh orang-orang tertentu untuk membentengi diri," sebutnya.

 

Lebih lanjut, pihaknya menilai demokrasi sudah mengalami kemunduran atas pengesahan UU tersebut. Selain itu, ia meyakini para Politisi memiliki agenda tertentu melalui revisi UU MD3.

 

"Tujuannya (untuk) membentengi diri agar dirinya (Politisi) aman dari jerat hukum," tukas Ujang.

 

Seperti diketahui, DPR melalui revisi UU MD3 mendapatkan tiga kuasa tambahan, yakni pemanggilan paksa dalam rapat DPR, imunitas dan bisa mengkriminalisasi penghinaan terhadap DPR.

 

Ketiga pasal tersebut adalah tambahan pasal 73 mengenai mekanisme pemanggilan paksa dengan bantuan polisi, tambahan pasal 122 mengenai langkah hukum Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) kepada siapa pun yang merendahkan DPR dan anggota DPR, serta tambahan pasal 245 soal pemanggilan dan permintaan keterangan penyidik kepada DPR yang harus mendapat persetujuan tertulis Presiden dan pertimbangan MKD.

[Yusuf Tirtayasa]